Ketua Badan Peneliti Independen Kekayaan Penyelenggara Negara & Pengawas Anggaran Republik Indonesia (BPI KPNPA RI) Sumatera Barat, Drs.H Marlis, M.M. (Foto: dok)
PADANG, ALINIANEWS.COM – Kasus dugaan praktik pungutan liar (pungli), pemotongan dana, dan penyalahgunaan wewenang di lingkungan Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Provinsi Sumatera Barat kembali mencuat.
Dugaan ini semakin menguat setelah adanya manuver mencurigakan pada Kamis (5/6/2025), saat belasan Kepala UPTD Samsat kabupaten/kota se-Sumbar dikumpulkan secara mendadak di Istana Gubernuran Sumbar, Padang. Informasi yang dihimpun menyebutkan, mereka dihubungi oleh pejabat penting Bapenda dan diminta hadir sebelum Salat Ashar. Awalnya, pertemuan akan digelar di Kantor Bapenda di Jalan Khatib Sulaiman, namun siangnya dipindahkan ke Istana Gubernuran di Jalan Sudirman.
Setelah melaksanakan salat Ashar berjemaah di mushala kompleks Istana Gubernuran, para Kepala UPTD diminta menandatangani daftar hadir. Namun, beberapa pejabat yang cermat melihat bahwa di bawah lembar absensi tersebut ternyata terdapat surat pernyataan yang menyebutkan bahwa “tidak benar ada pungli” di Bapenda.
BPI KPNPA RI Sumbar mengungkapkan bahwa sejak Triwulan I Tahun 2024, telah terjadi praktik pengumpulan dana dari para pejabat Eselon III dan IV atas perintah langsung Kepala Bapenda. Dana tersebut dikumpulkan dengan dalih “pengumpulan gaji PHL Non-APBD” tanpa dasar hukum serta tanpa transparansi penggunaan.
Setoran dilakukan secara triwulanan, dengan tarif awal Rp. 7.500.000 per orang untuk Eselon III dan Rp. 5.000.000 untuk Eselon IV. Namun, menjelang Triwulan IV, pungutan meningkat sepihak menjadi Rp. 12.500.000 untuk Eselon III dan Rp. 7.500.000 untuk Eselon IV. Bahkan, saat momen Lebaran 2024, pejabat kembali diminta menyetor Rp. 10.000.000 per orang.
Diduga, sebagian dana memang disalurkan untuk membayar gaji PHL Non-APBD, namun lebih dari Rp. 1,5 miliar tidak jelas penggunaannya dan disebut digunakan untuk kepentingan pribadi oknum pejabat serta “setoran jabatan” ke pihak eksternal.
Untuk diketahui, Pemerintah Provinsi Sumbar melalui Penjabat Sekretaris Daerah menggugat putusan Komisi Informasi Provinsi yang memerintahkan mereka membuka informasi terkait penggunaan dana tersebut. Permohonan keberatan dilayangkan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang, dan terdaftar dalam perkara No. 23/G/KI/2025/PTUN.PDG.
Namun gugatan itu menuai perlawanan. BPI KPNPA RI Sumbar, sebagai pihak yang meminta keterbukaan informasi, menyampaikan kontra memori keberatan kepada majelis hakim. Mereka menyebut langkah hukum Pemprov cacat prosedural.
Bapenda Enggan Buka Data ke BPI Sumbar
Sebelum kasus ini menguat, BPI KPNPA RI Perwakilan Sumatera Barat terlebih dahulu mengajukan permintaan informasi resmi kepada Bapenda Sumbar terkait rincian penggunaan dana PHL Non-APBD. Namun, permintaan informasi itu tidak direspons secara memadai, bahkan cenderung diabaikan. Bapenda enggan memberikan dokumen dan penjelasan yang diminta.
Sikap tertutup itu kemudian menjadi obyek sengketa di Komisi Informasi Provinsi Sumatera Barat. Dalam putusannya tertanggal 16 April 2025, Komisi Informasi memerintahkan Pemerintah Provinsi Sumbar untuk membuka akses informasi tersebut. Namun bukannya mematuhi putusan, Pemprov Sumbar melalui Penjabat Sekretaris Daerah malah mengajukan keberatan hukum ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Padang. Gugatan tersebut telah teregistrasi dengan Nomor Perkara 23/G/KI/2025/PTUN.PDG.
BPI KPNPA RI: Kewenangan Samsat Harus Ditinjau Ulang
Dalam keterangan tertulis, Ketua Umum BPI KPNPA RI Perwakilan Sumatera Barat, Drs. Marlis., M.M menegaskan bahwa persoalan ini membuka ruang evaluasi menyeluruh terhadap sistem pengelolaan Samsat di tingkat provinsi.
“Sudah perlu dipikirkan pengelolaan Samsat tidak lagi berada di bawah provinsi, melainkan menjadi kewenangan bupati dan wali kota. Sedangkan hak provinsi nantinya cukup menerima bagi hasil dari pajak kendaraan,” ucapnya.
Menurut Marlis, pemindahan kewenangan ini akan mengurangi potensi pungli di Samsat yang sudah sering menjadi target oknum yang tidak bertanggung jawab.
Marlis juga menyoroti keberadaan upah pungut pajak kendaraan yang saat ini diberikan kepada Gubernur, Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, serta bupati/wali kota. Menurut BPI, para pejabat tersebut tidak terlibat langsung dalam proses pungutan pajak, sehingga tidak pantas menerima insentif dari objek pajak yang mereka tidak tangani secara langsung.
“Tidak ada jasa yang diberikan oleh mereka dalam pungutan pajak kendaraan. Maka tidak layak mereka menerima upah pungut,” tegas Marlis.
Untuk itu, BPI KPNPA RI Sumatera Barat menyatakan akan segera menyurati Presiden Republik Indonesia dan Menteri Dalam Negeri agar meninjau ulang beberapa hal penting, yaitu:
- Pengalihan kewenangan pengelolaan Samsat dari provinsi ke kabupaten/kota.
- Penghapusan upah pungut dari pejabat yang tidak terlibat langsung : Gubernur, Wagub, Sekda, Bupati/Wako dan Wabup/Wawako.
Sebagai informasi tambahan, Sistem Administrasi Manunggal Satu Atap (SAMSAT) diatur oleh beberapa regulasi utama, antara lain:
-
Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan – mengatur sistem administrasi kendaraan bermotor termasuk SAMSAT.
-
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2012 tentang Kendaraan Bermotor – mengatur tata cara pendaftaran dan identifikasi kendaraan bermotor.
-
Peraturan Menteri Keuangan No. 199/PMK.010/2017 – mengatur tata cara pemungutan pajak kendaraan bermotor.
SAMSAT merupakan sistem terpadu antara Polri, Dinas Pendapatan Daerah, dan PT Jasa Raharja, yang bertujuan mempermudah masyarakat dalam mengurus administrasi kendaraan bermotor, mulai dari pembayaran pajak hingga pengurusan STNK.
BPI berharap langkah ini dapat memperkuat integritas pengelolaan pajak daerah serta mendorong sistem pemerintahan yang lebih transparan dan akuntabel. (REL/CHL)