spot_img
spot_img

Dua Orang Minang tentang Bung Hatta

 

Catatan YURNALDI, wartawan utama

Menjelang 17 Agustus 2025 lalu , jagat media sosial di Ranah Minang heboh. Warganet marah pada Fadli Zon yang mengatakan bahwa sebutan “Bapak Koperasi Indonesia” lebih tepat disandang kakek Presiden Prabowo, Margono Djojohadikusumo. Sementara Bung Hatta sebaiknya disebut “Bapak Perekonomian Rakyat”.

Iklan

Spontan publik Minang tersinggung. Bung Hatta adalah kebanggaan mereka, ikon intelektual, pejuang kemerdekaan, dan simbol moral bangsa. Seolah-olah ada upaya “menggeser” Hatta dari panggung sejarah.

Padahal, mari kita ingat: lewat Keputusan Presiden No. 9 Tahun 1974, pemerintah secara resmi menetapkan Bung Hatta sebagai Bapak Koperasi Indonesia. Gelar itu bukan sekadar romantisme sejarah, tapi pengakuan negara atas perjuangan Hatta membangun koperasi sebagai sokoguru ekonomi rakyat.

Namun, bukan berarti Margono tak punya jasa. Ia memang pendiri Bank Negara Indonesia (BNI) tahun 1946, memimpin Bank Industri Negara, bahkan ikut mempelopori lahirnya semangat berkoperasi sejak zaman kolonial, ketika bekerja di Algemeen Volkscredietbank.

Saya menemukan catatan penting dari wartawan senior H. Rosihan Anwar tanggal 9 Mei 1994 dalam edisi khusus Kompas 17 Agustus 2025. Rosihan menulis: “Bung Hatta dengan tepat disebut Bapak Koperasi. Namun Margono, pada masanya, memelopori bertumbuhnya semangat beroperasi di tanah air.”

Jadi, dua figur ini jelas punya jejak:

Bung Hatta: konseptor, ideolog, dan penggerak koperasi sebagai sistem ekonomi rakyat.

BACA JUGA  KPK: 57% Pegawai Masih Lihat Pejabat Salahgunakan Anggaran Kantor untuk Kepentingan Pribadi

Margono: birokrat ekonomi yang memelopori lembaga keuangan dan menghidupkan praktik berkoperasi.

IMG 20250824 103726

Kalau begitu, kenapa orang Minang berang benar ke Fadli Zon?

Menurut hemat saya ada tiga sebab: Pertama, identitas – Bung Hatta adalah kebanggaan Minang. Mengusik gelarnya sama dengan menyentuh harga diri orang awak.

Kedua, politik – Fadli Zon dianggap bicara bukan sekadar sejarah, tapi demi mengangkat nama keluarga besar Prabowo.

Ketiga, emosi media sosial – Publik membaca berita sepotong, lalu bereaksi tanpa mau menelusuri sumber lengkap.

IMG 20250820 151454

Yurnaldi, Pemred alinianews.com saat dijamu Wakil Pemimpin Umum harian Kompas Tri Agung, Redpel Adi, dan petinggi lainnya. (Foto Rozalina) 

Saya pribadi kenal Fadli Zon jauh sebelum ia jadi politisi. Ia dulu penulis di Kompas, punya perpustakaan pribadi yang unik di Benhil, dan belakangan membangun Rumah Budaya di Tanah Datar. Artinya, ia memang punya perhatian pada sejarah dan kebudayaan. Hanya saja, saat ia melontarkan pernyataan sensitif soal Bung Hatta, publik keburu melihatnya dari kacamata politik, bukan akademis.

Seandainya telepon saya diangkat Fadli Zon hari ini, tentu menarik untuk mengonfirmasi maksud sebenarnya. Tapi sebagai wartawan, saya percaya satu hal: sejarah harus dibaca utuh, tidak sepotong, dan tidak boleh hanya jadi alat glorifikasi kekuasaan.

Bung Hatta tetaplah Bapak Koperasi Indonesia—resmi, sah, dan diakui negara. Margono Djojohadikusumo pun punya tempat dalam sejarah ekonomi kita, sebagai pelopor dan pendiri lembaga-lembaga penting.

BACA JUGA  Trump Puji Prabowo di KTT Perdamaian Gaza: “Seorang Pemimpin Luar Biasa dari Indonesia”

Jadi, tak perlu dipertentangkan. Sejarah bukan gelanggang perebutan gelar, melainkan ruang untuk saling mengakui jasa para pendahulu.

Jakarta, 24 Agustus 2025

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses