spot_img
spot_img

Dikha “Aura Farming”, Antitesis Konsep Daya Tarik

Dikha dengan gaya “aura farming” yang lagi tren di dunia. 

ALINIANEWS.COM — Karena Dikha, orang ingin menyambangi Riau. Apa sesungguhnya yang tersembunyi di negeri Lancang Kuning itu, sejak Hang Tuah, Hang Jebat, dan Hang Kesturi seolah-olah kehilangan panggung?

Gubernur pun membayangkan tambahan PAD dari Pariwisata. Otak inovasinya jalan. Dan Dikha langsung diangkat sebagai Duta Wisata.

Iklan

Beda dengan kita, duta wisata selalu kita pikir gadis cantik. Padahal gadis secantik apapun tidak akan membuat dunia melihatnya, kalau ia tidak punya personal branding atau daya entertainment.

Dikha seolah-olah antitesis kita terhadap konsep daya tarik. Ia bukan wanita, bukan orang yang bisa menjual sensualita, sebagaiman lazimnya makanan murahan orang di negeri bedebah. Ia tak menggoyangkan pinggul layaknya burung merak untuk menggoda kawin.

Dikha menggoyangkan pinggul kecilnya yang dibalut busana melayu, lalu menari lembut di haluan perahu panjang. Tangannya seakan-akan mengarahkan alur. Karena ia memang pengarah jalur dalam lomba dayung itu.

Bukan tarian khas Gen Z. Ia tidak sekalap kita. Yang dia tiru adalah pakem tarian pengarah jalur dalam budaya Melayu yang sudah ada sejak ratusan tahun yang lalu. Karena itu tidak sama dengan tarian anak sekolah sekarang saat membuat video perpisahan.

Tapi karena Dikha bergaya seperti mendulang angin, ia mendadak menyedot perhatian publik hingga mancanegara. Ia disebut memiliki “aura farming”, aura yang dimiliki seseorang untuk mengembangkan potensi terbaik dari dirinya sendiri. Bukan aura bertani😁, sekalipun farm artinya bertani.

Intinya, mereka menjual budaya. Dan orang di luar negeri pun meniru tarian khas pelaut itu.

Baju hitam plus ikat kepala Melayu, diterpa angin kencang dari Jalur Pacu, membuatnya gagah. Langsung membangkitkan ingatan kita kepada Melayu sebagai penguasa laut dan bandar.

Tapi yang segera saya bayangkan adalah anak-anak di rawa Rodang Tinapor, di Mandailing, dengan kelincahan mendayung perahu-perahu kayu, tapi tak terkenal. Karena kita lebih silau ikan di laut orang. (Askolani Nasution, penulis adalah budayawan dan sastrawan Sumatera Utara)

 

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses