Oleh: Tirza Haqia Purnama
Mahasiswa Magister Administrasi Publik, Unand
Rakyat selalu menjadi kata kunci dalam setiap retorika pembangunan. Kita disuguhi berbagai narasi tentang skema pembiayaan rakyat yang katanya berpihak pada masyarakat bawah seperti rumah bersubsidi, kredit mikro, pemanfaatan aset negara untuk UMKM, hingga program kemitraan pemanfaatan lahan negara. Namun ketika dilihat lebih dekat, skema-skema ini justru menunjukkan wajah lain yang justru rumit, elitis, dan sering kali tidak berpihak pada rakyat yang sebenarnya.
Aset publik seharusnya menjadi fondasi utama dalam membangun kesejahteraan rakyat. Tapi di Indonesia, tata kelola aset publik masih diliputi berbagai persoalan mendasar. Dari perencanaan aset yang tidak partisipatif, pengadaan yang rawan konflik kepentingan, hingga pemanfaatan yang sering kali tidak berkeadilan. Banyak aset negara yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kepentingan publik justru digunakan oleh pihak swasta dalam bentuk kerja sama yang minim transparansi, seperti dalam skema pinjam pakai atau pemanfaatan jangka panjang.
Skema-skema pembiayaan rakyat yang ada saat ini tampak seperti solusi. Namun dalam kenyataannya, tak jarang hanya menjadi instrumen legal yang membungkus kepentingan-kepentingan tertentu. Program rumah bersubsidi, misalnya, tak sedikit diborong oleh aktor-aktor bermodal, bahkan oleh kalangan aparatur sipil sendiri. Padahal tujuannya adalah untuk masyarakat berpenghasilan rendah. Sementara itu, kelompok masyarakat yang benar-benar membutuhkan justru terhambat oleh sistem yang terlalu birokratis dan tidak ramah akses. Skema pinjam pakai aset negara pun menghadirkan masalah serupa. Tanah milik negara dimanfaatkan oleh sektor swasta untuk pembangunan pusat perbelanjaan, hotel, atau fasilitas komersial lainnya. Di sisi lain, masyarakat sekitar yang terdampak tidak mendapatkan manfaat langsung. Ketika ditelusuri, proses pemanfaatan aset ini kerap terjadi tanpa keterbukaan informasi yang memadai, bahkan cenderung eksklusif.
Fenomena sengketa lahan juga menjadi dampak dari manajemen aset yang tidak terstandarisasi dan minim kapasitas. Di beberapa daerah, konflik muncul antara pemerintah dan masyarakat adat yang mempertahankan tanah ulayat mereka, namun diklaim sebagai bagian dari tanah negara. Celah-celah seperti ini muncul karena tidak adanya standar nasional dalam perjanjian pinjam pakai, tidak ada sistem akuntabilitas yang menyeluruh, dan belum maksimalnya digitalisasi data aset publik.
Menurut Dr. Roni Ekha Putera, dosen pengampu mata kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia dan Aset, inovasi dalam pengelolaan aset negara seharusnya tidak semata-mata berfokus pada pendekatan teknokratis, tetapi juga mempertimbangkan aspek keberpihakan. Dalam salah satu sesi perkuliahan, beliau menekankan bahwa pemanfaatan aset publik tidak dapat dilepaskan dari pertanyaan mengenai siapa pihak yang diuntungkan. Meskipun sejumlah skema pemanfaatan tampak ideal secara administratif, dalam praktiknya sering kali justru menimbulkan kesulitan bagi kelompok rentan. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan kapasitas kelembagaan serta lemahnya mekanisme pengawasan terhadap implementasi kebijakan tersebut.
Sedangkan menurut Dr. Erna Widyastuty menyampaikan bahwa perumusan peraturan teknis terkait skema pinjam pakai maupun kerja sama pemanfaatan aset negara idealnya dilakukan secara partisipatif. Pendekatan ini penting untuk memastikan bahwa proses pengelolaan aset publik berjalan transparan dan akuntabel. Hal tersebut sejalan dengan pandangan bahwa aset publik merupakan milik rakyat, bukan sekadar dikelola oleh institusi tertentu, sehingga kebijakan yang mengatur pemanfaatannya harus berpihak pada kepentingan publik secara luas.
Sebagai mahasiswa magister administrasi publik, saya melihat bahwa permasalahan terbesar bukan hanya pada regulasinya yang lemah, tetapi pada cara berpikir kebijakan yang masih menempatkan rakyat sebagai objek, bukan subjek. Skema-skema pembiayaan rakyat ini pada akhirnya lebih sering menjadi branding politik, bukan alat pemerataan.Ada urgensi besar untuk mendesain ulang skema-skema tersebut, dengan memperkuat kapasitas birokrasi daerah, membuka akses publik terhadap data aset, dan memastikan bahwa setiap kebijakan pemanfaatan aset dinilai bukan dari nilai ekonominya saja, tapi dari sejauh mana ia menjamin keadilan sosial.
Kita tidak butuh lebih banyak jargon “untuk rakyat.” Kita butuh keberpihakan nyata dalam kebijakan aset publik. Aset negara bukan sekadar tanah dan bangunan, ia adalah simbol tanggung jawab negara kepada rakyatnya. Ketika aset publik tidak lagi publik, saat itulah keadilan mulai kabur dari peta pembangunan. Maka pertanyaan yang harus terus diajukan adalah benarkah skema-skema ini hadir untuk membiayai rakyat, atau justru rakyat yang membiayai keberlangsungan sistem yang tidak memihak?