ALINIANEWS.COM — Beberapa hari lalu, publik dikejutkan dengan kabar bahwa jamuan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka bersama sejumlah “tukang ojek online” di Istana ternyata menyimpan cerita lain. Bukan benar-benar perwakilan ojol, melainkan diduga sebagian besar adalah tim buzzer berkedok pengemudi ojol. Fakta kecil—misalnya sepatu branded bernilai jutaan rupiah yang dipakai salah seorang “ojol”—semakin memicu kecurigaan publik.
Lalu, apa sebenarnya yang ingin dicapai Gibran dengan adegan politik ini?
Citra yang Dibangun, Rakyat yang Dibohongi
Politik pencitraan bukan hal baru di negeri ini. Tetapi, ketika pencitraan dilakukan dengan kebohongan, publik justru diperlakukan seperti penonton sandiwara. Seolah-olah Gibran ingin menunjukkan kepeduliannya pada rakyat kecil, padahal yang dihadirkan bukanlah wajah otentik mereka. Ini tidak hanya merusak kepercayaan rakyat, tetapi juga meremehkan kecerdasan publik yang semakin kritis.
Ojol dalam konteks sosial Indonesia bukan sekadar profesi. Mereka simbol kerja keras, keberanian bertahan di tengah ekonomi sulit, dan perwakilan rakyat yang rentan. Dengan menjadikan “ojol palsu” sebagai properti politik, pesan yang muncul bukanlah kepedulian, melainkan manipulasi. Itu seperti mencuri wajah rakyat kecil untuk kepentingan elite.
Jika panggung politik diisi dengan drama-drama semacam ini, maka bahaya yang mengintai bukan sekadar turunnya kepercayaan publik. Lebih jauh, rakyat bisa kehilangan harapan pada institusi negara. Padahal, kepemimpinan sejatinya menuntut kejujuran, keteladanan, dan keterbukaan—bukan permainan ilusi yang berumur pendek.
Wapres muda ini mestinya menyadari, rakyat zaman sekarang bukan rakyat yang mudah dibohongi. Setiap detail bisa dibongkar dalam hitungan menit oleh netizen. Justru dengan bersikap otentik, jujur, dan terbuka, Gibran bisa meraih simpati yang lebih tulus. Rakyat ingin pemimpin yang apa adanya, bukan aktor politik yang bersembunyi di balik panggung sandiwara.
Publik tidak butuh drama “ojol istana”. Publik butuh solusi nyata atas masalah hidup sehari-hari: harga beras, ongkos pendidikan, akses kesehatan, hingga kesejahteraan pekerja informal seperti ojol. Politik pencitraan berbasis kebohongan hanya akan menjadi bumerang. Jika Gibran ingin dikenang sebagai pemimpin, bukan sekadar pewaris dinasti, ia harus berani tampil apa adanya—bukan dengan memoles realitas. (YURNALDI)