ALINIANEWS.COM — Pernyataan mengejutkan Prof. Dr. Sofian Effendi, mantan Rektor UGM (2002–2007), yang menyebut Jokowi tidak pernah lulus program sarjana dan hanya berstatus sarjana muda (B.Sc), menjadi pukulan telak terhadap kredibilitas akademik presiden dua periode tersebut.
Ini bukan sekadar polemik dokumen, melainkan soal kejujuran, integritas, dan legitimasi yang menyentuh langsung fondasi demokrasi: keabsahan seorang kepala negara.
Pukulan Telak dari Orang Dalam
Prof. Sofian bukan orang sembarangan. Ia mantan Rektor UGM, Kepala BKN, dan akademisi senior dengan reputasi panjang. Ketika dia bicara, publik tidak bisa mengabaikan begitu saja. Klaim bahwa nilai IPK Jokowi tidak sampai 2.00 dan bahwa tidak ada skripsi sah atau ujian sidang adalah fakta yang menghancurkan—jika terbukti benar. Sebab di era 1980-an, sistem Sarjana Muda–Sarjana memang sangat ketat. Nilai tak cukup? Drop Out. Titik.
Skripsi Siluman dan Ijazah Misterius
Sofian mengungkap lebih jauh: skripsi Jokowi tak pernah diuji, tak bertanggal, dan kosong tanda tangan pembimbing. Ia bahkan menyinggung dugaan plagiarisme terhadap pidato Prof. Sunardi yang dijadikan skripsi.
Jika benar, maka bukan sekadar pelanggaran administratif—ini dugaan pemalsuan akademik yang serius. Apalagi jika benar ijazah tersebut adalah milik Hari Mulyono, kerabat yang telah wafat. Ini bukan skandal moral semata, tapi bisa masuk ranah pidana: penipuan publik dan pemalsuan dokumen.
Tabir Konspirasi atau Keberanian Akademik?
Apakah ini bentuk keberanian ilmuwan senior yang akhirnya bicara setelah puluhan tahun bungkam? Atau bagian dari pusaran politik besar yang tengah mencoba membongkar “jokowiisme” hingga ke akar?
Apa pun itu, publik berhak tahu dan negara wajib menindaklanjuti. Jika tudingan ini dibiarkan menggantung, maka kita sedang membiarkan luka besar dalam tubuh demokrasi: seorang presiden diduga tak sah secara akademik, namun tetap dilindungi oleh pembiaran sistemik.
Laporan Polisi atau Laporan Sejarah?
Jika benar ijazahnya palsu dan tidak ada laporan kehilangan, seperti yang ditegaskan Sofian, maka publik layak bertanya: Mengapa Presiden tak pernah lapor? Apakah ada upaya sistematis menutupi dokumen?
Ini saatnya aparat, Kementerian Pendidikan, dan pihak UGM membuka lemari arsip sejarah secara jujur dan transparan. Sebab ini bukan lagi sekadar polemik medsos. Ini menyangkut kebenaran sejarah republik.
Kebenaran Tak Bisa Dihapus Tip-Ex Sejarah
Jika negara ingin bermartabat, maka verifikasi terbuka, audit akademik, dan penyelidikan forensik dokumen harus segera dilakukan. Jika terbukti ada pemalsuan, maka ini akan menjadi aib terbesar dalam sejarah republik—bahwa bangsa ini pernah dipimpin oleh seorang yang tak sah secara akademik dan mungkin administratif.
Jika tidak benar? Maka negara wajib membersihkan nama Jokowi dengan bukti otentik, bukan klarifikasi politis.
Sebab, sekali kebenaran dikorbankan untuk kenyamanan politik, negara ini akan kehilangan wibawanya—di mata sejarah dan generasi mendatang.
Catatan:
Skandal ini bukan sekadar soal ijazah. Ini soal kejujuran dan pertanggungjawaban pejabat publik. Sebab rakyat berhak dipimpin oleh sosok yang jujur dari dokumen hingga kebijakan. (NAL)
————————————————————————-
“Kepercayaan publik tak dibangun dari foto kampanye atau pidato—tapi dari kebenaran, seberapa pun menyakitkan.”
— [Yurnaldi]