spot_img
spot_img

Analisis Berita: Zakat yang Dipaksakan, Ketika Ibadah Menjadi Beban Struktural

Kepala Dinas Pendidikan Sumatera Barat Drs. H. Barlius, MM saat bincang bincang dengan alinianews.com beberapa waktu lalu. (Foto yurnaldi/alinianews.com) 

ALINIANEWS.COM — Di negeri yang menjunjung tinggi nilai demokrasi dan keberagaman keyakinan, sebuah surat edaran dari Dinas Pendidikan Provinsi Sumatera Barat mengejutkan dan menyesakkan. Surat tersebut mewajibkan pemotongan zakat secara otomatis dari seluruh pendapatan bruto guru, termasuk gaji bulanan, THR, gaji ke-13, hingga Tunjangan Profesi Guru (TPG). Dana tersebut kemudian disetor ke rekening Unit Pengumpul Zakat (UPZ) dinas setiap bulan, dengan tenggat waktu dan tata cara penyetoran yang ketat dan birokratis.

Ini bukan hanya soal zakat. Ini tentang pemaksaan sistematis terhadap keyakinan individu yang seharusnya suci, privat, dan lahir dari keikhlasan.

Iklan

Zakat, dalam ajaran Islam, adalah ibadah sosial yang tinggi nilainya—tapi hanya jika dilakukan tanpa paksaan. Ketika pelaksanaan zakat dijadikan instrumen administratif, dipaksakan melalui edaran, dan dijalankan seperti pungutan wajib, maka hilanglah esensi spiritualnya. Ibadah berubah menjadi beban, dan negara tampil sebagai pemungut yang lupa akan batas-batas konstitusional.

Apakah guru tidak bisa dipercaya untuk menunaikan ibadahnya sendiri?

Guru bukan sekadar profesi. Ia adalah pengemban amanah pengetahuan dan teladan moral. Memperlakukan mereka sebagai sasaran pemotongan sepihak dengan narasi ‘amal sosial’ adalah bentuk kekerdilan dalam melihat peran mereka. Terlebih, dalam kenyataan sehari-hari, banyak guru di daerah terpencil harus bergulat dengan keterbatasan fasilitas, keterlambatan gaji, bahkan hidup pas-pasan. Bukankah seharusnya mereka mendapat keadilan dan empati, bukan tambahan tekanan?

BACA JUGA  EDITORIAL: Wajah Busuk Anggaran, KPK Beri Peringatan

Surat edaran tersebut memang menyebut bahwa sekolah dapat mengajukan bantuan ke Baznas untuk keperluan pendidikan dan bencana. Namun argumen ini justru mempertegas kekeliruan logika kebijakan tersebut. Apakah para guru diminta menyetor zakat untuk kemudian memohon kembali dalam bentuk bantuan? Ini bukan pemberdayaan, tapi transaksi tak adil dalam balutan agama.

Zakat bukan pajak. Dan ibadah bukan instrumen birokrasi.

Patut diapresiasi sikap para guru SLTA se-Sumatera Barat yang berani bersuara, menyampaikan keresahan mereka kepada BPI KPNPA. Sikap ini bukan bentuk pembangkangan, melainkan perlawanan moral terhadap distorsi nilai-nilai agama yang dijadikan alat regulasi. Pernyataan Ketua BPI KPNPA Sumbar yang menyebut bahwa “seorang guru adalah teladan dalam menyuarakan keadilan” merupakan pengingat bahwa demokrasi hanya hidup ketika suara dari bawah tidak dibungkam.

Gubernur Sumatera Barat kini berada di persimpangan penting. Apakah akan berpihak pada akal sehat dan keadilan, atau tetap membiarkan urusan ibadah dipolitisasi menjadi prosedur yang kaku dan menekan?

Publik menunggu tindakan tegas: mencabut surat edaran, mengembalikan hak guru untuk menunaikan ibadah sesuai keyakinan pribadi, serta mengevaluasi secara menyeluruh pola pikir birokrasi yang makin jauh dari semangat pelayanan dan empati sosial.

Kita tidak bisa terus membiarkan kebijakan publik terbungkus jargon agama namun kehilangan ruhnya. Jika zakat yang suci pun dikomersialkan lewat edaran dan kewajiban struktural, maka kita harus bertanya: agama siapa yang sedang kita perjuangkan? (Yurnaldi)

BACA JUGA  Dikha "Aura Farming", Antitesis Konsep Daya Tarik

 

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses