Selembar surat bertajuk “Komitmen Antikorupsi” yang ditandatangani atas nama Pemerintah Provinsi Sumatera Barat yang ditandatangani H. Mahyeldi Ansharullah, SP selaku gubernur dan atas namaDPRD Provinsi Sumatera Barat yang ditandatangani Drs.H. Muhidi, M.M. menarik bagi saya untuk dicermati dan dipertanyakan.
Pernyataan tersebut ditandatangani, 9 Mei 2025 di Jakarta.
Ada tiga catatan. Pertama, logo KPK dipajang berdapingan dengan Logo/Lambang Daerah Pemprov Sumatera Barat.
Logo lembaga seperti KPK adalah simbol resmi negara yang penggunaannya harus seizin lembaga tersebut. Jika KPK tidak ikut menandatangani atau tidak menjadi pihak dalam dokumen, mencantumkan logo KPK sangat rentan disalahartikan seolah-olah KPK terlibat atau mendukung isi dokumen tersebut.
Biasanya, jika KPK hanya memberikan materi sosialisasi atau template dokumen, mereka akan menyebutkan bahwa itu adalah template atau pedoman, bukan bagian dari penandatanganan komitmen bersama.
Jika tidak ada keterlibatan formal KPK, penggunaan logo mereka bisa dianggap maladministrasi atau bahkan pelecehan terhadap simbol lembaga negara.
Kedua, karena ditandatangani dan ada satu dokumen untuk (arsip) KPK, tentu Gubernur dan Ketua DPRD Sumbar itu membawa stempel ke Jakarta.
Yang menjadi pertanyaan, mungkinkah kedua pejabat itu bawa stempel ke Jakarta?
Jawaban: mungkin saja secara teknis, tapi tidak lazim dan berpotensi melanggar prosedur. Biasanya stempel resmi pemerintah daerah disimpan di kantor masing-masing untuk mencegah penyalahgunaan.
Kemudian, penggunaan stempel dilakukan oleh pejabat berwenang di tempat tugas mereka (kantor gubernur, kantor DPRD).
Jika penandatanganan dilakukan di luar daerah (contoh, Jakarta) biasanya dokumen ditandatagani dulu tanpa stempel, lalu dibawa ke daerah untuk distempel secara resmi.
Nah, jika untuk urusan “Komitmen Antikorupsi” stempel dibawa ke Jakarta, maka harus seizin Sekretariat atau pejabat penganggung jawab administrasi. Akan tetapi, dalam praktik birokasi yang baik, hal ini sangat jarang dilakukan, karena risiko penyalahgunaan tinggi,
Ketiga, ada dugaan “Akal-Akalan”. Melihat dua poin di atas; (1) Logo KPK dicantumkan tanpa tanda tangan KPK dan (2) Ada kemungkinan penggunaan stempel di luar prosedur, maka dugaan bahwa ini “akal-akalam” atau pencitraan semata cukup beralasan, terutama jika tidak ada dokumentasi kehadiran resmi KPK dalam acara tersebut. Kemudian, tidak ada bukti bahwa dokumen ini hasil fasilitasi atau arahan formal dari KPK. Proses penandatanganan dan penyegelan dokumen dilakukan tidak sesuai prosedur.
Dari tiga catatan di atas, kesimpulan awal yang dapat dipetik adalah: dokumen ini terkesan dibuat untuk kepentingan internal atau pencitraan, tapi secara etik administrasi cacat, terutama soal penggunaan logo KPK. Jika ada niat serius, seharusnya KPK hadir, tanda tangan, atau surat pengantar resmi dari KPK. Penggunaan stempel di luar daerah tanpa prosedur resmi menunjukkan indikasi prosedur yang dilangkahi.
Biasanya, kegiatan penandatanganan dokumen “Komitmen Antikorupsi” ini diekspos di banyak media, ada foto pejabat yang menandatangani. Akan tetapi, sejauh pengataman saya, berita di media tidak ada. Apalagi foto acara di KPK itu. Jadi kentara sekali, ini diduga sebuah akal-akalan saja.
Ada satu hal lagi, dan ini perlu dipertanyakan. Ketua DPRD Provinsi Sumatera Barat Muhidi menurut informasi melaksanakan ibadah haji bergabung kloter pertama pada 2-3 mei 2025. Kalau itu benar, apa mungkin “Dokumen Antikorupsi” itu ditandatangani 9 Mei 2025 di Jakarta?
Semoga ada pihak yang meminta informasi tentang ini ke PPID, untuk menjawab apakah ini hanya diduga akal-akalan saja atau untuk menjawab tiga hal yang saya catat di “Analisis Berita” ini.(Yurnaldi, wartawan utama)