ALINIANEWS.COM — OTT Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menyeret pejabat negara: Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer alias Noel. Ironis. Seorang pejabat tinggi yang diberi kepercayaan negara justru mempermainkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi. Apa lagi yang kurang? Gaji besar, fasilitas mewah, harta melimpah, tapi tangan masih saja gatal merampok uang rakyat.
Pertanyaan mendasar pun muncul: apakah penjara tidak lagi menakutkan bagi pejabat korup? Fakta menunjukkan, penjara di Indonesia sering kali berubah menjadi hotel bintang tiga, lengkap dengan fasilitas mewah, remisi, hingga peluang politik setelah keluar. Inilah sebabnya mengapa korupsi tak pernah surut: karena hukum tidak memberi efek jera.
Bandingkan dengan Tiongkok. Di sana, pejabat yang korup dihukum mati tanpa kompromi. Negara menunjukkan sikap keras: mengkhianati rakyat berarti kehilangan nyawa. Hasilnya, tingkat korupsi memang menurun drastis. Di Singapura, tanpa hukuman mati, korupsi ditekan dengan sistem yang keras, gaji tinggi, dan hukuman pasti tanpa pandang bulu. Sementara di Indonesia, koruptor bisa tersenyum, tetap kaya, dan bahkan kembali berkuasa.
Lantas, apakah Indonesia perlu menimbang hukuman mati atau potong tangan bagi koruptor kelas kakap? Mengingat korupsi telah menggerogoti negara hingga ratusan triliun rupiah, bukankah kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih dahsyat daripada sekadar tindak kriminal biasa? Korupsi bukan sekadar kejahatan keuangan, tapi pengkhianatan terhadap rakyat.
Namun, ancaman hukuman mati atau potong tangan hanya akan menjadi ilusi jika sistem hukum tetap tebang pilih. Tanpa hakim dan aparat hukum yang bersih, aturan sekeras apapun hanya akan menjerat ikan teri, sementara kakap besar tetap lolos.
Karena itu, saatnya Indonesia mengambil langkah berani:
Pertama, joruptor besar yang merugikan negara triliunan harus menghadapi ancaman hukuman mati.
Kedua, remisi dan fasilitas mewah di penjara bagi koruptor dihapus total.
Ketiga, transparansi digital atas seluruh anggaran negara, agar ruang korupsi semakin sempit.
Korupsi adalah kanker yang tak bisa lagi diobati dengan obat dosis rendah. Jika negara ini masih ingin selamat, maka hukuman mati harus masuk ke meja perdebatan serius sebagai senjata pamungkas. Sebab, koruptor sudah lama tak takut pada hukum—dan hanya akan jera jika hidup mereka dipertaruhkan. (YURNALDI)