JAKARTA, ALINIANEWS.COM – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tengah mengusut dugaan penipuan yang dilakukan oleh seseorang bernama Bayu Widodo Sugiarto, yang mengaku sebagai wartawan dan mengklaim bisa mengurus perkara di lembaga antirasuah tersebut. Bayu diperiksa terkait kasus dugaan pemerasan dalam pengurusan izin Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA) di Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker).
“Benar, jadi kemarin dilakukan pemeriksaan terhadap saudara WDD (Widodo),” kata Juru Bicara KPK, Budi Prasetyo, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta, Rabu (29/10/2025).
Budi menjelaskan, penyidik mendalami keterangan Bayu terkait aliran dana dari oknum di Kemenaker yang disebut-sebut diberikan dengan dalih bisa mengamankan perkara di KPK.
“Modus yang dilakukan oleh saudara WDD (Widodo) ini adalah mengaku bisa mengurus perkara di KPK, khususnya terkait dengan perkara RPTKA ini,” ujarnya.

Menurut Budi, informasi soal dugaan penipuan itu diperoleh dari keterangan para tersangka dan saksi dalam perkara RPTKA. “Ini juga sekaligus membuktikan bahwa tidak ada pengurusan perkara yang dilakukan di KPK. Penyidikannya masih terus berprogres,” tegasnya.
Terseret Kasus RPTKA dan Jejak Lama di Wisma Atlet
Dalam perkara korupsi RPTKA, KPK sebelumnya telah menahan delapan tersangka pada pertengahan Juli 2025, dan terbaru menetapkan eks Sekretaris Jenderal Kemenaker, Heri Sudarmanto, sebagai tersangka pada Rabu (29/10/2025).
Delapan tersangka lain yang lebih dulu ditahan yakni Suhartono (SH), Haryanto (HY), Wisnu Pramono (WP), Devi Angraeni (DA), Gatot Widiartono (GTW), Putri Citra Wahyoe (PCW), Jamal Shodiqin (JMS), dan Alfa Eshad (ALF).
KPK menduga para tersangka telah menerima uang hasil pemerasan sebesar Rp53,7 miliar dari pemohon izin RPTKA sepanjang 2019–2024.
Di tengah penyidikan itu, nama Bayu Widodo kembali mencuat karena diduga menggunakan modus lama—mengaku memiliki koneksi di KPK untuk mengurus perkara. “Kami memastikan tidak ada pengurusan perkara di KPK. Ini murni perbuatan oknum,” kata Budi.
Budi juga menyebut, Bayu pernah menggunakan modus serupa dalam kasus korupsi Wisma Atlet SEA Games Palembang pada 2011. “Diduga dia menipu pihak yang terlibat dalam perkara yang ditangani KPK,” ujarnya.
Pernah Tipu Terdakwa Kasus Wisma Atlet Rp1 Miliar
Nama Bayu memang pernah muncul dalam pusaran kasus korupsi Wisma Atlet. Ia disebut-sebut menipu terdakwa Mindo Rosalina Manulang (Rosa) sebesar Rp1 miliar dengan janji bisa menghindarkan dirinya dari operasi penangkapan KPK.
Dalam dokumen yang dimiliki Tempo, Rosa menyebut Bayu tidak pernah menunjukkan identitas resmi sebagai pegawai KPK.
“Saya tidak pernah melihat ID card atau surat keterangan apa pun yang menunjukkan Bayu Widodo Sugiarto alias Mbah Ndoro Bei sebagai orang dalam KPK,” tulis Rosa dalam dokumen tersebut.
Rosa mengaku uang Rp1 miliar itu berasal dari kantong pribadi dan pinjaman perusahaan tempat ia bekerja, PT Anak Negeri. Penyerahan uang dilakukan dua tahap pada April–Mei 2011 melalui seorang sopir bernama Suparjo atau Suparno.
Ia mengenal Bayu lewat Paulus Nelwan, seorang pengusaha yang disebut dekat dengan Sekretaris Menpora saat itu, Wafid Muharam, yang juga menjadi terdakwa dalam kasus Wisma Atlet. Dalam persidangan di Pengadilan Tipikor Jakarta, 28 April 2011, Paulus mengaku memperkenalkan Rosa kepada Bayu karena urusan furnitur.
“Bayu sempat bilang dia ditemui Rosa dan menerima uang dari Rosa, tapi uang itu untuk membeli furnitur,” ujar Paulus saat bersaksi.
Sementara itu, Wakil Ketua KPK kala itu, M. Jasin, memastikan Bayu bukan pegawai KPK. “Kalau dia mengaku-ngaku, berarti dia memang bukan orang KPK,” kata Jasin.
Diperiksa Bersama Dua Saksi Lain
KPK diketahui memeriksa Bayu bersama dua orang lain, yakni Ilyasa Darusalam, pegawai Kemenaker, dan Yuanto Iswandi, seorang pihak swasta, pada Jumat (24/10/2025). Pemeriksaan tersebut menelusuri dugaan keterlibatan pihak luar dalam aliran uang korupsi RPTKA.
“Didalami terkait dengan dugaan adanya aliran uang dari pihak-pihak Kemnaker kepada saksi dimaksud,” kata Budi Prasetyo.
KPK menegaskan penyidikan terhadap kasus RPTKA akan terus berlanjut, termasuk kemungkinan adanya pihak lain yang diduga turut menikmati hasil tindak pidana tersebut. (*/Rel)




