JAKARTA, ALINIANEWS.COM – Usulan agar pemerintah pusat mengambil alih pembayaran gaji pegawai negeri sipil (PNS) di daerah kembali mencuat. Kali ini, permintaan itu datang dari Gubernur Sumatera Barat, Mahyeldi Ansharullah, yang berharap langkah tersebut dapat meringankan beban fiskal daerah di tengah penurunan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Bagi Hasil (DBH).
Namun, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menegaskan, kebijakan itu belum bisa direalisasikan saat ini. Menurutnya, pemerintah pusat masih harus menjaga kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta keseimbangan fiskal nasional agar stabilitas ekonomi tidak terganggu.
“Jadi kalau diminta sekarang (gaji PNS daerah dibayar pusat) ya pasti saya nggak bisa,” tegas Purbaya seusai menerima perwakilan Asosiasi Pemerintah Provinsi Seluruh Indonesia (APPSI) dalam pertemuan di Jakarta, Selasa (7/10/2025).
Purbaya menuturkan, meski keinginan kepala daerah untuk meringankan beban fiskal bisa dipahami, pemerintah pusat tetap harus berhati-hati dalam mengambil kebijakan baru yang berpotensi menambah beban APBN. Saat ini, katanya, pemerintah masih berupaya menjaga rasio defisit APBN terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) agar tetap di bawah 3 persen sesuai ketentuan.
“Belum kita khususkan, kalau dia minta semuanya juga tanggung saya. Itu normal, permintaan normal. Tapi kan kita hitung kemampuan APBN ke saya seperti apa,” ujarnya.
Usulan dari Sumatera Barat
Gubernur Sumbar Mahyeldi sebelumnya mengungkapkan keprihatinan terhadap kondisi keuangan daerah. Ia menyebut pemotongan Transfer ke Daerah (TKD) dan Dana Bagi Hasil (DBH) tahun 2026 akan menambah tekanan fiskal, apalagi di tengah meningkatnya kebutuhan anggaran untuk membayar Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Tentu harapan kita di daerah adalah bagaimana TKD ini dikembalikan lagi. Kalau enggak, mungkin gaji pegawai bisa diambil oleh pusat,” kata Mahyeldi di Gedung Djuanda, Kementerian Keuangan, Jakarta.
Menurutnya, jika beban gaji ASN diambil alih oleh pemerintah pusat, maka pemerintah daerah akan memiliki ruang fiskal yang lebih longgar untuk fokus pada pembangunan prioritas dan program yang selaras dengan arah pembangunan nasional.
Menanggapi hal tersebut, Menkeu Purbaya menilai permintaan para kepala daerah adalah hal yang wajar. Namun, ia menegaskan bahwa keputusan fiskal semacam itu tidak bisa diambil secara tergesa-gesa, terlebih di tengah perlambatan ekonomi nasional.
Purbaya mengungkapkan bahwa perekonomian Indonesia dalam sembilan bulan pertama tahun 2025 menunjukkan tren fluktuatif, dengan pertumbuhan yang cenderung menurun. Kondisi itu membuat kebijakan belanja negara harus diatur secara hati-hati agar tidak mendorong defisit melebihi batas aman.
“Jadi kalau diminta sekarang ya pasti saya nggak bisa, kecuali saya tembus rasio defisit PDB di atas 3 persen. Jadi saya jaga itu. Saya jaga semuanya dulu. Saya optimalkan belanja, saya optimalkan pendapatan,” tutur Menkeu.
Purbaya menegaskan bahwa pemerintah tetap fokus menjaga disiplin fiskal dan memastikan setiap belanja negara memberikan dampak optimal bagi pertumbuhan ekonomi.
Meski menolak untuk saat ini, Menkeu tidak menutup kemungkinan adanya evaluasi terhadap alokasi dana ke daerah di masa mendatang. Ia memberi sinyal bahwa pemerintah pusat bisa saja meninjau kembali kebijakan TKD jika kondisi ekonomi membaik dan pendapatan negara meningkat.
“Pada dasarnya tergantung mereka (pemda) sendiri mau seperti apa ke depan. Kalau mereka bagus, mereka bisa meyakinkan pimpinan. Saya juga punya senjata tambahan untuk menjelaskan bahwa harusnya seperti ini lagi (TKD naik),” jelasnya.
Dengan demikian, perdebatan soal siapa yang harus menanggung gaji aparatur sipil negara di daerah belum menemukan titik temu. Namun, baik pemerintah pusat maupun daerah sepakat bahwa sinergi fiskal harus dijaga agar pembangunan tetap berlanjut tanpa mengorbankan stabilitas ekonomi nasional. (*/REL)