JAKARTA, ALINIANEWS.COM — Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digadang-gadang Presiden Prabowo Subianto sebagai prioritas nasional kini tengah menjadi sorotan. Alih-alih menjadi kebanggaan, program ini justru dibayangi deretan kasus keracunan di berbagai daerah.
Kasus terbaru mencuat di Yogyakarta. Hampir 1.000 siswa mengalami gejala keracunan hingga kejang-kejang usai menyantap menu MBG, sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Peristiwa serupa sebelumnya juga terjadi di Sumatra Selatan, Jawa Timur, dan Jawa Barat.
Di Sragen, Jawa Tengah, tercatat 196 siswa keracunan setelah menyantap hidangan MBG. Menanggapi hal ini, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN), Dadan Hindayana, menegaskan pihaknya telah mengambil langkah mitigasi.
“Pokoknya kami berusaha sebaik mungkin agar tidak ada kejadian lagi,” ujarnya kepada wartawan di kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta. Dadan menyebut perbaikan SOP (prosedur operasional standar) menjadi fokus utama, mulai dari pemilihan bahan baku, durasi memasak, kecepatan distribusi, hingga memastikan makanan tidak terlalu lama disimpan di sekolah.
Menu Basi di Surabaya dan Jawa Barat
Kejadian serupa juga ditemukan di Surabaya. Johanes Mardijono, Kepala SMAN 15 Surabaya, mengungkapkan sebanyak 30 persen dari 1.285 porsi MBG yang dibagikan kepada siswa ditemukan dalam kondisi basi.
“Jadi enggak semuanya [makanan MBG basi]. Jadi ini hari kesembilan, delapan hari kemarin itu makanannya sesuai harapan anak-anak. Hari kesembilan ini memang ada sayur yang mungkin itu tadi yang dianggap basi,” tuturnya.
Menurut Johanes, aroma tak sedap baru tercium setelah siswa membuka wadah makanan. Sejak itu, banyak siswa enggan menyantap hidangan tersebut.
Kejadian serupa juga menimpa siswa di Jawa Barat. Sekda Jabar, Herman Suryatman, menyampaikan permintaan maaf atas kasus keracunan massal yang terjadi.
“Kami prihatin dengan kejadian di beberapa kabupaten, ini tentu jadi pembelajaran. Ini harus diantisipasi dan dimitigasi ke depan, tidak boleh ada kejadian serupa,” katanya. Pemprov Jabar menugaskan Dinas Kesehatan melakukan pemeriksaan laboratorium untuk mengidentifikasi penyebab keracunan.
Usulan MBG Diganti Uang Tunai
Serangkaian kasus tersebut memunculkan wacana agar program MBG diganti dengan skema uang tunai. Mensesneg Prasetyo Hadi mengatakan ide tersebut sebenarnya sudah dibahas sejak awal, namun pemerintah memutuskan skema MBG tetap lebih tepat.
“Kalau ide kan dari dulu banyak ya. Dan bukan berarti ide ini tidak baik, atau ini ide yang satu lebih baik, tidak. Tapi kemudian konsep yang sekarang dijalankan BGN itulah yang dianggap pemerintah terbaik untuk saat ini,” ujarnya di Istana Negara.
Namun, Dadan Hindayana menolak keras opsi uang tunai. Ia menilai, program bantuan semacam itu sudah diwakili oleh BLT (Bantuan Langsung Tunai).
“Jadi kita tidak ingin melakukan itu,” tegasnya.
Dadan menambahkan, skema tunai rawan penyelewengan. Ia mencontohkan kasus di Sumatera Utara ketika dana bantuan KIP (Kartu Indonesia Pintar) digunakan untuk keperluan lain, bukan pendidikan.
“Program ini dirancang, kan sudah diskusi lama. Dan program ini adalah untuk intervensi pemenuhan gizi,” jelasnya.
Lebih jauh, Dadan menegaskan MBG bukan sekadar pemberian makanan, melainkan juga strategi membangun rantai pasok pangan lokal. Setiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG), kata dia, mampu menyerap kebutuhan pangan besar dari petani daerah.
“Satu SPPG itu kan setiap bulan butuh 5 ton beras. Itu setara dengan 10 ton gabah kering giling. Jadi berapa hektar? Ada 2 hektar luas panen yang (dimanfaatkan) satu SPPG,” jelasnya.
Pemerintah berharap, pola ini dapat menjaga nilai tukar petani sekaligus memperkuat ketahanan pangan lokal.
Meski begitu, sejumlah pihak menilai perbaikan mutlak dilakukan. Wakil Ketua Komisi IX DPR, Charles Honoris, menilai panjangnya proses penyajian makanan dalam jumlah besar membuat hidangan rawan terkontaminasi.
“Bahkan opsi memberikan uang kepada orang tua murid misalnya. Sehingga orang tua murid bisa menyediakan makanan sendiri untuk anak-anaknya,” kata Charles di Parlemen.
Pemerintah menegaskan evaluasi menyeluruh tetap dijalankan. Namun, BGN memastikan tujuan utama MBG tetap tidak berubah: intervensi gizi bagi anak-anak dan ibu hamil sebagai generasi penerus bangsa.
“Untuk uang tunai kan sudah ada bantuan tunai langsung. Jadi kita tidak ingin melakukan itu,” pungkas Dadan.
Wakil Ketua Komisi IX DPR RI Yahya Zaini menilai rentetan kasus ini membuktikan perlunya perubahan pola pelaksanaan MBG. Ia mengusulkan agar program tidak lagi dipusatkan di BGN, melainkan dikelola langsung oleh sekolah dengan melibatkan komite sekolah.
“Mengingat banyaknya kasus keracunan, perlu dipikirkan alternatif MBG dikelola sekolah bersama komite sekolah,” ujarnya di Jakarta.
Menurut Yahya, jika sekolah yang menyiapkan langsung, kualitas dan kesegaran makanan akan lebih terjamin.
“Akan lebih terjamin higienitas dan keamanannya, serta sesuai selera anak-anak sekolah,” katanya.
Selain keracunan, DPR juga menyoroti lemahnya kinerja serapan anggaran. Dari total alokasi Rp71 triliun, realisasi hingga September baru Rp13,2 triliun atau 18,6 persen.
Padahal, BGN mengklaim program sudah berjalan di 38 provinsi dengan 22 juta penerima manfaat.
Kondisi ini membuat Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memberi peringatan keras. Jika serapan tak membaik, anggaran MBG bisa dialihkan ke program lain.
“Daripada nganggur duitnya, kan saya bayar bunga juga, saya akan alihkan ke tempat lain yang lebih siap,” kata Purbaya di kompleks Istana Kepresidenan, Jumat (19/9).
(*/REL)