ALINIANEWS.COM — Pelantikan pejabat tinggi pratama di lingkungan Pemerintah Provinsi Sumatera Barat akhir pekan lalu seharusnya menjadi momentum penyegaran birokrasi dan penguatan pelayanan publik. Namun, publik justru dikejutkan oleh masuknya nama Febrina Tri Susila Putri—mantan Kepala Dinas Perkebunan, Tanaman Pangan, dan Hortikultura—yang kini didapuk sebagai Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Sumbar.
Sorotan terhadap Febrina bukan tanpa alasan. Namanya sudah lama dikaitkan dengan dugaan maladministrasi, nepotisme, hingga penyimpangan anggaran di dinas yang sebelumnya ia pimpin. Laporan internal yang beredar bahkan merinci 14 poin dugaan pelanggaran, mulai dari ketidakhadiran selama berbulan-bulan, proyek pengadaan yang diarahkan ke rekanan keluarga, pungutan liar berkedok donasi, hingga zakat pegawai yang tak jelas pertanggungjawabannya.
Meski laporan itu sudah masuk ke Kejaksaan Tinggi Sumbar sejak awal tahun, hingga kini tak ada kejelasan tindak lanjut. Proses hukum terkesan jalan di tempat. Justru di saat publik menunggu kepastian, gubernur melantik kembali pejabat yang disorot itu ke jabatan strategis. Inilah yang menimbulkan tanda tanya besar: apakah mutasi ini bentuk pembinaan atau justru perlindungan?
Prinsip dasar dalam birokrasi adalah integritas. Seorang pejabat yang masih menyisakan tanda tanya besar soal etik dan hukum tidak pantas diberikan amanah baru. Mutasi memang lazim dilakukan untuk penyegaran, tapi dalam kasus ini mutasi seolah menjadi jalan keluar instan untuk menghindari masalah.
Padahal, masalah tidak pernah selesai dengan sekadar memindahkan posisi. Jika dugaan penyimpangan tak pernah dijawab, maka pejabat bersangkutan membawa “beban reputasi” kemanapun ia ditempatkan. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap birokrasi justru semakin terkikis.
Lebih parah lagi, penempatan di Balitbang—sebuah lembaga yang menuntut integritas akademik, objektivitas, dan kredibilitas tinggi—malah menimbulkan ironi. Bagaimana mungkin sebuah badan yang seharusnya menjadi pusat inovasi dan gagasan pembangunan dipimpin oleh sosok yang integritasnya tengah dipertanyakan?
Gubernur Mahyeldi memiliki tanggung jawab besar untuk memastikan aparatur sipil negara di Sumbar bekerja dengan bersih dan profesional. Mutasi tanpa penjelasan hanya memperkuat kesan bahwa pejabat bermasalah bisa dilindungi, bukannya ditindak.
Dalam kasus ini, gubernur mestinya mengambil langkah berani: menonaktifkan pejabat yang bersangkutan sampai ada kejelasan hukum. Transparansi adalah kunci. Publik berhak tahu alasan seorang pejabat yang dilaporkan dengan 14 poin dugaan pelanggaran masih diberi kepercayaan jabatan baru. Diam bukan pilihan. Bungkam hanya mempertebal kecurigaan.
Kejaksaan Tinggi Sumbar juga tidak bisa bersembunyi di balik alasan teknis atau prosedural. Laporan ASN dan publik yang cukup detail tidak bisa dibiarkan menguap. Semakin lama kasus ini menggantung, semakin kuat persepsi adanya “main mata” antara pejabat dan aparat hukum.
Penegakan hukum yang tebang pilih adalah racun bagi birokrasi. ASN yang jujur akan kehilangan motivasi, sementara pejabat yang nakal merasa kebal. Pada akhirnya, publiklah yang menjadi korban dari birokrasi yang tidak bersih.
Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah daerah sedang diuji. Apakah Sumatera Barat ingin dikenal sebagai daerah yang membiarkan pejabat bermasalah naik jabatan tanpa klarifikasi? Atau sebaliknya, sebagai daerah yang berani menegakkan integritas birokrasi meski harus menyingkirkan orang dekat kekuasaan?
Jawabannya bergantung pada langkah gubernur dan aparat hukum ke depan. Publik tidak meminta banyak—hanya transparansi dan kepastian hukum. Jika memang dugaan itu tidak benar, sampaikan hasil pemeriksaan secara terbuka. Jika terbukti, tindak tegas tanpa pandang bulu.
Birokrasi adalah wajah negara di hadapan rakyat. Menukar integritas dengan kenyamanan politik adalah pengkhianatan terhadap amanat rakyat. Tidak ada alasan bagi gubernur untuk terus memberi ruang kepada pejabat yang masih dibelit dugaan penyimpangan.
Sumatera Barat membutuhkan pemimpin yang berani berkata: cukup sudah, jangan lagi ada pejabat bermasalah yang dipelihara dalam lingkaran jabatan. Mutasi bukan solusi. Jalan keluar satu-satunya adalah kejelasan hukum dan keberanian politik untuk menegakkan integritas.
Jika gubernur sungguh-sungguh ingin membangun birokrasi bersih, langkah pertama yang harus dilakukan adalah berhenti memberi kepercayaan kepada pejabat yang bermasalah. Aparat hukum pun harus segera menuntaskan laporan dugaan penyimpangan. Tanpa itu, kepercayaan publik hanya akan semakin terkikis, dan birokrasi Sumatera Barat terancam kehilangan marwahnya. (YURNALDI)