ALINIANEWS.COM — Rakyat Indonesia patut terperangah. Anggota DPR kini digaji Rp230 juta per bulan. Jika ditambah rencana tunjangan rumah Rp50 juta, angka itu makin fantastis. Artinya, dalam setahun, rakyat harus merogoh kocek Rp1,6 triliun hanya untuk menghidupi 580 orang wakil rakyat. Ironinya, kinerja mereka masih jauh dari memuaskan.
Bukannya fokus memperjuangkan rakyat, sebagian malah sibuk “mengutak-atik” dana aspirasi, mengincar CSR, hingga bermain proyek. Kebijakan yang lahir pun kerap justru menambah beban rakyat: pajak baru, iuran tinggi, listrik naik, subsidi dipangkas. Lalu, apa yang bisa dibanggakan dari lembaga yang seharusnya jadi suara rakyat ini?
Gaji sebesar itu 35 kali lipat dari penghasilan rata-rata rakyat Indonesia, yang hanya Rp6,5 juta per bulan. Wakil rakyat hidup bak sultan, sementara jutaan rakyat masih berjuang dengan harga beras, biaya sekolah, dan ongkos kesehatan. Bukankah seharusnya mereka malu?
Rakyat tak butuh wakil yang pandai bergoyang di ruang sidang, apalagi hanya menjadi corong kepentingan politik jangka pendek. Rakyat butuh legislator yang jujur, bekerja keras, dan berani melawan arus demi kepentingan publik.
Jika gaji sudah sebesar itu, maka tidak ada alasan lagi bagi anggota DPR untuk korup, main proyek, atau abai pada konstituennya. Bila mereka tetap bandel, rakyat berhak memberi vonis di pemilu berikutnya. Bahkan, penegak hukum wajib tanpa ragu menciduk mereka yang menjual amanah.
Saatnya anggota DPR disadarkan: kursi yang mereka duduki bukan tempat “goyang-goyang”, tapi tempat bekerja keras membela rakyat. Gaji sultan harus dibayar dengan kinerja juara, bukan janji kosong.
Namun di sisi lain, masih sering terdengar kasus anggota legislatif yang “mengutak-atik” dana CSR, pokir (pokok pikiran), bahkan ikut bermain proyek. Ironinya, kebijakan mereka kerap membebani rakyat: pajak baru, iuran tinggi, listrik naik, dan subsidi dipangkas.
Terlepas dari banyak masalah wakil rakyat yang “menyakitkan hati” rakyat, harapan rakyat tetap agar wakil rakyat bekerja jujur dan berpihak pada rakyat.
Ada beberapa pendekatan yang bisa ditekankan:
Pertama,Transparansi & Kontrol Publik. Setiap sen uang negara untuk gaji, tunjangan, dan perjalanan mereka mesti diumumkan secara terbuka.
Rakyat perlu punya akses mudah untuk mengawasi kinerja legislator, misalnya kehadiran sidang, usulan RUU, dan sikap mereka dalam voting.
Kedua, Ukuran Kinerja yang Terukur. Gaji besar seharusnya diikuti dengan target kinerja jelas: berapa RUU yang diselesaikan, berapa pengawasan kebijakan yang efektif, dan seberapa besar manfaat nyata bagi rakyat.
Jika target tidak tercapai, ada sanksi pemotongan tunjangan.
Ketiga, Etika Politik dan Keteladanan. Para senator harus disadarkan bahwa mereka digaji dari pajak rakyat yang sebagian besar masih berpenghasilan Rp6,5 juta per bulan (rata-rata nasional).
Artinya, mereka menerima gaji 35 kali lipat lebih besar dari rakyat yang mereka wakili. Ini seharusnya melahirkan rasa malu jika masih korup atau malas bekerja.
Keempat, Peran Publik dan Media. Tekanan publik lewat media massa, media sosial, dan opini kritis harus terus dijaga.
Rakyat tidak boleh diam, karena diam berarti membiarkan mereka merasa nyaman dengan privilese tanpa bekerja sungguh-sungguh.
Kelima, Sanksi Hukum dan Politik. Partai politik mestinya ikut mengawasi kadernya di DPR/DPD. Yang terlibat korupsi atau penyalahgunaan wewenang harus langsung dicopot.
Penegak hukum (KPK, Kejagung, Polri) jangan ragu menindak mereka meski berstatus pejabat tinggi.
Dengan kata lain, cara paling efektif meyakinkan para senator agar tidak korup dan bekerja benar adalah kombinasi tekanan publik, aturan ketat, serta penegakan hukum yang konsisten. Kalau hanya berharap pada kesadaran moral, sering kali tidak cukup. (YURNALDI)