ALINIANEWS.COM — Tahun 2026 Indonesia menghadapi tantangan fiskal yang kian berat. Dalam RAPBN 2026, pemerintah menyiapkan Rp599,44 triliun hanya untuk membayar bunga utang. Angka ini melonjak 8,6 persen dibanding outlook 2025.
Lebih ironis lagi, pemerintah juga merencanakan penambahan utang baru sebesar Rp681,9 triliun. Dengan kata lain, setiap rupiah yang dipinjam sebagian besar hanya untuk menutup cicilan utang lama—bukan membangun jalan, sekolah, rumah sakit, atau meningkatkan kesejahteraan rakyat.
Situasi ini menempatkan Indonesia dalam jebakan fiskal: gali lubang, tutup lubang. Negara terus terjerat dalam lingkaran setan utang, sementara beban pajak pada akhirnya ditanggung rakyat kecil.
Ironi di Tengah Krisis. Di saat negara harus mengencangkan ikat pinggang, publik justru disuguhi kenyataan lain:
Korupsi tetap merajalela, dari proyek bansos hingga pengadaan infrastruktur.
Gaji dan tunjangan pejabat naik, termasuk para wakil rakyat yang sudah menikmati fasilitas mewah.
Proyek-proyek mercusuar dan belanja birokrasi kerap tidak relevan dengan kebutuhan rakyat.
Kontradiksi ini memperlihatkan betapa para elite politik hidup di menara gading, jauh dari denyut nadi rakyat yang kian terbebani utang.
Jalan Keluar: Bukan Sekadar Tambah Utang. Bagaimana seharusnya negara ini dikelola? Ada beberapa langkah mendesak:
Pertama, penghematan Anggaran Elite
Pemangkasan gaji, tunjangan, dan fasilitas mewah pejabat negara harus menjadi langkah simbolis dan substantif. Tidak pantas wakil rakyat menikmati gaji jumbo sementara rakyat dipaksa memikul utang negara.
Kedua, perang Total terhadap Korupsi
Data Indonesia Corruption Watch (ICW) menunjukkan kerugian negara akibat korupsi setiap tahun mencapai ratusan triliun rupiah. Angka ini hampir setara dengan bunga utang yang dibayar negara. Memulihkan integritas KPK dan memperketat audit keuangan publik menjadi mutlak.
Ketiga, optimalisasi Pajak yang Adil
Sistem pajak harus lebih progresif. Jangan hanya mengandalkan PPN yang membebani rakyat kecil, sementara pengemplang pajak dari kalangan konglomerat, perusahaan besar, atau sektor tambang lolos begitu saja.
Keempat, efisiensi BUMN dan Belanja Negara
Banyak BUMN justru menjadi “lubang hitam” anggaran. Alih-alih memberi dividen, mereka minta disuntik modal. Reformasi BUMN, memangkas birokrasi gemuk, dan menghentikan proyek tidak produktif adalah langkah wajib.
Kelima, penggunaan Utang yang Produktif
Utang yang sehat adalah utang yang dipakai untuk proyek dengan nilai tambah ekonomi jangka panjang: energi, riset, pangan, dan industri strategis. Bukan untuk gaji birokrasi, bukan pula untuk subsidi politik jangka pendek.
Seorang ekonom senior UI pernah mengingatkan: “Utang negara bukan sekadar angka di atas kertas, tapi janji yang harus dibayar dengan keringat generasi mendatang.” Jika kebijakan fiskal hanya diwarnai kompromi politik dan kepentingan elite, maka Indonesia bukan hanya kehilangan kedaulatan fiskal, tapi juga kepercayaan rakyat.
Pembaca Editorial yang budiman, krisis utang bukan semata persoalan ekonomi, melainkan juga cermin moralitas elite. Negara yang terus berutang, sementara pejabatnya pesta pora, adalah negara yang sedang berjalan menuju kebangkrutan moral.
Sebelum terlambat, pemerintah harus melakukan reformasi fiskal besar-besaran. Jika tidak, APBN kita akan tinggal buku besar berisi cicilan utang, dan rakyat hanya menjadi generasi pemikul beban. (YURNALDI)