ALINIANEWS.COM — Di tengah gempita wacana pembangunan infrastruktur dan digitalisasi pelayanan publik, ada ancaman senyap yang terus menghantui masyarakat akar rumput: tuberkulosis (TBC). Kabupaten Pasaman, Sumatera Barat, baru saja mencatat lonjakan kasus signifikan. Dalam dua bulan pertama tahun 2025 saja, 213 kasus TBC ditemukan, dengan konsentrasi tertinggi di Tapus, Pegang Baru, dan Simpang Tonang. Bahkan, di Kampung Bombai, Nagari Panti Selatan, ditemukan 38 kasus dan dua kematian.
Fenomena ini bukan sekadar statistik. Ia adalah alarm keras yang memperlihatkan bagaimana penyakit infeksius menular, yang sebenarnya bisa dicegah dan disembuhkan, masih mencengkeram komunitas kita secara sistemik—khususnya di wilayah dengan keterbatasan layanan kesehatan, pengetahuan masyarakat yang minim, dan penanganan lapangan yang lamban.
Secara nasional, Indonesia masih menjadi negara dengan beban TBC tertinggi kedua di dunia setelah India. Pada tahun 2024, diperkirakan 1,09 juta orang menderita TBC, dengan 81% di antaranya berhasil ditemukan dan dilaporkan. Artinya, masih ada ratusan ribu orang yang kemungkinan menjadi sumber penularan aktif tanpa pengobatan yang memadai.
Kasus Pasaman—kecil dalam angka nasional, besar dalam makna lokal—mencerminkan tiga hal penting. Pertama, sistem deteksi dini dan pelaporan kita masih belum merata secara geografis. Kedua, edukasi masyarakat tentang bahaya TBC dan pentingnya pengobatan tuntas masih lemah. Ketiga, koordinasi lintas sektor antara kesehatan, pemerintah nagari, tokoh masyarakat, dan media lokal harus diperkuat agar pendekatan terhadap TBC tidak bersifat reaktif dan sporadis.
Lebih jauh lagi, perhatian perlu diarahkan pada penyakit sebagai indikator ketimpangan pembangunan. TBC bukan sekadar masalah medis, tetapi sosial. Ia berakar dari kemiskinan, rumah yang tidak layak, gizi buruk, hingga stigma yang membuat penderita malu atau enggan berobat. Maka, menekan TBC bukan hanya soal obat dan laboratorium, tapi juga perbaikan kualitas hidup dan keadilan pelayanan publik.
Pasaman hanya satu dari banyak wajah Indonesia yang masih bergulat dengan TBC. Jika kita gagal membaca lonjakan ini sebagai peringatan dini, bukan tidak mungkin daerah lain akan menyusul. Pemerintah pusat telah menetapkan target eliminasi TBC pada tahun 2030. Namun, target itu akan tinggal mimpi jika daerah seperti Pasaman terus luput dari perhatian strategis.
TBC bukan sekadar penyakit paru-paru. Ia adalah penyakit sistem. Dan sistemlah yang harus disembuhkan. (YURNALDI)