JAKARTA, ALINIANEWS.COM — Praktik curang di industri perberasan kembali mencuat setelah Satuan Tugas (Satgas) Pangan Polri mengungkap kasus pengoplosan beras medium yang dijual sebagai beras premium. Temuan ini menjadi perhatian serius lantaran beras oplosan tersebut telah beredar luas di pasar tradisional maupun ritel modern.
“Dari hasil penyelidikan sementara ditemukan 3 produsen atas 5 merek tersebut, yaitu merek beras premium,” ujar Ketua Satgas Pangan, Brigjen Pol Helfy Assegaf, dikutip dari Kontan, Sabtu (26/7/2025).
Tiga produsen yang diduga terlibat ialah:
-
PT PIM (merek Sania)
-
PT FS (merek Setra Ramos Merah, Setra Ramos Biru, dan Setra Pulen)
-
Toko SY (merek Jelita dan Anak Kembar)
Satgas telah menyita barang bukti sebanyak 201 ton beras premium dalam kemasan, terdiri dari 39.036 bungkus ukuran 5 kilogram dan 2.304 bungkus ukuran 2,5 kilogram.
“Hasil uji lab juga bagian daripada barang bukti yang kita sudah dapatkan, yaitu hasil lab dari Kementerian Pertanian terhadap 5 merek sampel beras premium yaitu Sania, Setra Ramos Biru, Setra Ramos Merah, Setra Pulen, dan Jelita, serta Ana Kembar,” jelas Helfy.
Dugaan pelanggaran yang dilakukan para produsen mencakup tindak pidana perlindungan konsumen serta tindak pidana pencucian uang. Produsen dianggap menjual produk yang tidak sesuai dengan label standar mutu yang tertera di kemasan.
“Ancaman hukuman pasal 62 undang-undang perlindungan konsumen yaitu pidana penjara 5 tahun maksimal dan denda maksimal Rp 2 miliar,” ujarnya. “Untuk ancaman hukuman undang-undang tindak pidana pencucian uang yaitu pidana penjara 20 tahun dan denda Rp 10 miliar,” sambung Helfy.
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman juga menyoroti maraknya peredaran beras oplosan. Ia menyebut, beras-beras tersebut dikemas dalam label premium, meski faktanya telah dicampur dan berpotensi menyesatkan masyarakat.
“Contoh ada volume yang mengatakan 5 kilogram, padahal 4,5 kg. Kemudian ada yang 86 persen mengatakan bahwa ini premium, padahal itu adalah beras biasa,” kata Amran.
“Artinya apa? Satu kilo bisa selisih Rp 2.000 sampai Rp 3.000 per kilogram,” tambahnya.
Kementan memperkirakan praktik pengoplosan ini bisa merugikan masyarakat hingga Rp 99 triliun per tahun, nyaris menyentuh Rp 100 triliun. Pelanggaran meliputi ketidaksesuaian berat, mutu, hingga labelisasi produk.
Pengungkapan ini menjadi alarm bagi konsumen untuk lebih cermat dalam memilih produk beras, sekaligus mendorong pemerintah memperketat pengawasan rantai distribusi bahan pangan pokok di seluruh Indonesia. (*/rel)