PADANG, ALINIANEWS.COM — Kepolisian Daerah Sumatera Barat (Polda Sumbar) menangkap sembilan orang terduga pelaku perusakan rumah doa yang juga dijadikan tempat pendidikan agama bagi siswa Kristen milik jemaat Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) di Kelurahan Padang Sarai, Kecamatan Koto Tangah, Kota Padang. Perusakan itu terjadi pada Minggu sore, 27 Juli 2025, dan terekam dalam sejumlah video yang viral di media sosial.
“Yang sudah kita amankan sembilan orang. Tentunya akan berkembang lagi. Sembilan orang ini sesuai dengan apa yang ada di video yang sudah ada, karena ada bukti-bukti maka kami amankan semua,” ujar Wakapolda Sumbar Brigjen Pol Solihin, dikutip dari unggahan video akun Instagram Polresta Padang, Senin (28/7/2025).
Dalam pernyataannya, Solihin mengimbau masyarakat untuk tidak bertindak gegabah atau anarkis. Ia memastikan situasi di lokasi kejadian telah kondusif dan menegaskan bahwa segala bentuk pelanggaran akan ditindak sesuai hukum.

“Jangan masyarakat gegabah, jangan masyarakat bertindak anarkis. Semua ada hukum. Jadi siapa yang berbuat maka akan bertanggung jawab,” tegasnya.
Perusakan Disertai Teror: “Anak-anak Menangis Histeris”
Rekaman video yang beredar luas memperlihatkan sejumlah warga menghancurkan kaca-kaca jendela dengan batu dan kayu. Di dalam rumah, para wanita terlihat panik menyelamatkan anak-anak yang menangis ketakutan. Pendeta GKSI Padang, F. Dachi, mengisahkan detik-detik mencekam saat rumah doa itu diserang.
“Saat itu datang ketua RW dan RT memanggil untuk berbicara di belakang rumah. Namun di depan, warga ramai datang dan melakukan perusakan,” ujar Dachi saat dihubungi Minggu malam.
Ia menambahkan, kaca rumah dipecahkan, listrik diputus, dan banyak peralatan ibadah serta fasilitas pendidikan dirusak. Mirisnya, dua anak mengalami luka akibat aksi kekerasan tersebut.
Mediasi Hingga Tengah Malam: “Bukan Konflik SARA, Tapi Kesalahpahaman”
Insiden tersebut langsung direspons oleh berbagai pihak. Mediasi darurat dilakukan hingga tengah malam di Kantor Camat Koto Tangah, melibatkan jemaat GKSI, warga, Forum Komunikasi Umat Beragama (FKUB) Kota Padang, dan pihak kepolisian.
Fadly, salah satu pihak yang hadir dalam mediasi, menjelaskan bahwa telah dicapai kesepakatan untuk meredakan ketegangan. Ia mengajak semua pihak untuk memahami luka dan trauma yang dialami para korban.
“Pertama, kita harus memahami lukanya perasaan saudara-saudara kita yang mengalami tindakan perusakan bahkan juga sampai ada korban luka,” ujarnya kepada Kompas.com, Minggu malam.
Ia menegaskan bahwa peristiwa ini bukan perselisihan agama, melainkan murni kesalahpahaman. “Untuk kesalahpahaman sudah clear bahwa insiden ini tidak terkait SARA. Untuk tindakan yang masuk ranah pidana ditindaklanjuti sesuai hukum yang berlaku,” tegasnya.
Kemenag RI: “Perkuat Komunikasi Lintas Iman, Jangan Tunggu Konflik Meledak”
Kepala Pusat Kerukunan Umat Beragama (PKUB) Kementerian Agama RI, Muhammad Adib Abdushomad, turut menyampaikan keprihatinan mendalam atas kejadian tersebut. Ia menilai perusakan tempat ibadah, apalagi yang dilakukan di hadapan anak-anak, sangat mencederai nilai kemanusiaan dan kerukunan.
“Saya sangat menyayangkan kejadian tersebut. Rumah doa kembali menjadi titik gesekan karena kurangnya komunikasi dan miskomunikasi di lapangan. Saya berharap masyarakat tidak mudah terprovokasi dan lebih mengedepankan tabayyun, musyawarah, dan dialog lintas pihak sebagai jalan penyelesaian,” kata Gus Adib, sapaan akrabnya, di Jakarta, Senin (28/7/2025).
PKUB telah berkoordinasi dengan FKUB Provinsi Sumbar dan mengapresiasi langkah cepat FKUB Kota Padang yang langsung turun ke lokasi kejadian. Namun, Gus Adib menekankan pentingnya pencegahan sejak awal, bukan hanya penanganan pasca-konflik.
“Upaya menjaga kerukunan tidak cukup hanya dilakukan setelah konflik terjadi. Yang jauh lebih penting adalah memperkuat komunikasi sejak awal,” tegasnya.
Ia mengingatkan bahwa pelaksanaan aktivitas keagamaan di wilayah majemuk harus selalu diawali dengan komunikasi dan koordinasi bersama warga sekitar. “Hal ini bukan hanya soal formalitas, tapi bagian dari etika sosial,” ujarnya.
Duka yang Tak Perlu Terjadi
Insiden ini menjadi pengingat bahwa perdamaian dan toleransi bukanlah hal yang bisa dibiarkan berjalan sendiri. Ia harus dijaga, dijalin, dan diperkuat setiap hari. Ketika perbedaan tidak disikapi dengan kepala dingin dan hati yang terbuka, maka yang lahir adalah ketakutan, trauma, bahkan luka fisik dan batin—seperti yang kini dialami anak-anak jemaat GKSI Padang.
Kini, sembilan pelaku telah ditangkap, dan hukum akan berbicara. Namun luka yang ditinggalkan oleh ketidaksabaran dan intoleransi akan memerlukan waktu lebih lama untuk pulih. Semoga tragedi ini menjadi titik balik menuju Padang yang lebih damai dan Indonesia yang lebih bersatu. (*/rel)