ALINIANEWS.COM — Tuduhan mengenai keaslian ijazah Presiden Joko Widodo kembali bergulir di ruang publik, kali ini menyeret Universitas Gadjah Mada (UGM) ke dalam pusaran sorotan. Sebagai almamater kepala negara, UGM berada dalam posisi yang strategis sekaligus rentan. Namun, hingga saat ini, kampus tersebut memilih tidak memberikan respons terbuka. Apakah ini bentuk kehati-hatian institusional, atau justru cerminan ketidaksiapan menghadapi ujian integritas?
UGM adalah institusi pendidikan tinggi yang dibangun atas dasar kepercayaan publik. Dibiayai oleh anggaran negara dan dihormati karena rekam jejak akademiknya, UGM tidak bisa berdiri pasif ketika kredibilitasnya dipertaruhkan. Ketika masyarakat mempertanyakan keabsahan dokumen akademik seorang tokoh negara, kehadiran data dan klarifikasi faktual dari pihak yang memiliki otoritas menjadi kebutuhan, bukan pilihan.
Sikap diam yang berkepanjangan bukan hanya menimbulkan spekulasi, tetapi juga melemahkan posisi kampus sebagai penjaga etika dan transparansi akademik. Ketika integritas institusi ditantang, tidak cukup bagi sebuah universitas untuk hanya bertahan dalam wilayah senyap. Keterbukaan informasi, dalam batas kewajaran dan perlindungan data, adalah bentuk tanggung jawab publik yang melekat pada setiap lembaga yang dibiayai oleh negara.
Tentu, universitas bukan forum politik. Namun ketika isu politik menyentuh dasar legalitas akademik, maka tanggung jawab untuk menjelaskan fakta-fakta menjadi tidak terelakkan. UGM memiliki seluruh perangkat administratif untuk menjawab pertanyaan publik dengan dokumen dan data yang otentik. Tidak ada keharusan untuk menjawab serangan politik, tetapi ada kewajiban moral untuk menjaga nama baik institusi — dan itu hanya mungkin dilakukan melalui kejelasan informasi.
Isu ijazah palsu, bila terus dibiarkan tanpa penjelasan resmi, akan menjelma menjadi narasi destruktif yang tidak hanya menyerang figur individu, tetapi juga mengikis kepercayaan terhadap institusi pendidikan tinggi secara keseluruhan. Lebih jauh, ini bisa menjadi preseden buruk bagi masa depan akademik di Indonesia, di mana setiap dokumen bisa dipersoalkan tanpa adanya rujukan yang bisa dipercaya.
UGM sepatutnya memanfaatkan momentum ini untuk menunjukkan bahwa kampus besar tidak anti-kritik, dan bahwa akuntabilitas bukan ancaman, melainkan prinsip yang dijunjung tinggi dalam dunia akademik. Penjelasan terbuka dan dokumentatif akan jauh lebih efektif meredam kecurigaan publik ketimbang membiarkannya tumbuh dalam diam yang membingungkan.
Pada akhirnya, kredibilitas akademik bukan hanya ditentukan oleh prestasi ilmiah, tetapi juga oleh keberanian untuk bersikap jujur, terbuka, dan bertanggung jawab. Diam boleh jadi pilihan taktis, tetapi dalam situasi ini, diam terlalu lama bisa menjadi kegagalan strategis yang mencederai kehormatan akademik. (YURNALDI)