spot_img
spot_img

EDITORIAL: Kedaulatan Data dalam Bayang-Bayang Kesepakatan Dagang

ALINIANEWS.COM — Dalam pusaran arus globalisasi digital, data pribadi telah menjadi komoditas baru yang nilainya menyaingi bahkan melampaui komoditas fisik. Maka tak heran bila isu pengaliran data pribadi ke luar negeri—khususnya ke Amerika Serikat—dalam bingkai kesepakatan dagang Indonesia-AS memantik kegelisahan publik.

Kekhawatiran itu bukan tanpa dasar. Pengaliran data pribadi lintas negara membuka potensi kebocoran, penyalahgunaan, bahkan dominasi hukum asing atas informasi sensitif warga negara Indonesia. Jika tidak dikawal dengan regulasi dan transparansi, kedaulatan data kita bisa tergadaikan demi dalih investasi dan kerja sama ekonomi.

Menanggapi polemik ini, Menteri Komunikasi dan Informatika menyatakan bahwa transfer data lintas negara adalah keniscayaan. Ia mencontohkan bahwa negara-negara maju seperti AS dan para anggota G7 telah lama mengadopsi praktik ini dengan sistem perlindungan yang mumpuni. Indonesia, katanya, tengah mengambil posisi sejajar, tanpa mengorbankan prinsip perlindungan hukum nasional.

Iklan

Pernyataan tersebut patut dicermati secara kritis. Benar bahwa dalam dunia digital yang saling terhubung, arus data tidak bisa dibendung sepenuhnya. Tapi yang menjadi soal bukan semata-mata pengaliran data, melainkan siapa yang mengendalikan, mengawasi, dan menjamin keamanannya. Di negara-negara seperti Uni Eropa, praktik transfer data lintas negara diatur ketat melalui GDPR (General Data Protection Regulation). Negara mitra harus memenuhi prinsip perlindungan yang setara agar data warganya tak jatuh ke tangan yang salah.

BACA JUGA  EDITORIAL: Diam UGM, Ujian Integritas Akademik

Indonesia seharusnya belajar dari pendekatan tersebut. Kita tidak bisa menyamakan posisi dengan G7 hanya karena kita sepakat mentransfer data. Tanpa sistem perlindungan yang kuat dan lembaga pengawas yang independen, kesetaraan itu semu.

Lebih jauh, publik berhak tahu: apa sebenarnya isi kesepakatan dagang Indonesia-AS terkait data pribadi? Apakah ada mekanisme audit dan pengendalian? Siapa yang berwenang mengakses data itu? Bagaimana posisi UU Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) di dalamnya? Tanpa kejelasan itu, pemerintah rentan dituding melakukan “konsesi diam-diam” atas kedaulatan informasi warganya.

Kita menyambut baik kerja sama internasional, termasuk di bidang ekonomi digital. Tapi kerja sama itu harus berangkat dari prinsip saling menghormati kedaulatan hukum dan perlindungan hak asasi, bukan ketimpangan kuasa atau tekanan ekonomi.

Editorial ini menegaskan: Keterbukaan terhadap dunia bukan berarti membuka pintu tanpa pagar. Indonesia harus berdiri tegak dengan sistem perlindungan data yang kokoh, berdaulat dalam keputusan digitalnya, dan transparan kepada rakyatnya. Jika tidak, maka yang akan dijual dalam kesepakatan dagang itu bukan hanya produk dan jasa—tapi juga hak-hak dasar warga negara.(YURNALDI)

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses