Kantor DPRD Payakumbuh
PAYAKUMBUH, ALINIANEWS.COM — Sebanyak Rp352.300.000 uang rakyat diduga terbuang sia-sia sepanjang tahun 2024 hanya untuk membayar kelebihan uang representatif perjalanan dinas anggota DPRD Kota Payakumbuh. Anggaran tersebut dibayarkan dengan nilai yang seharusnya hanya diterima oleh pimpinan DPRD, bukan oleh seluruh anggota.
Uang representatif merupakan komponen perjalanan dinas yang diberikan sebagai pengganti pengeluaran tambahan selama menjalankan tugas, seperti biaya tips porter atau pengemudi. Aturannya jelas: pimpinan DPRD menerima Rp250 ribu per hari, sedangkan anggota DPRD setara dengan pejabat eselon II dan hanya berhak atas Rp150 ribu per hari.

Uraian | Satuan | Harga Satuan (Rp) |
---|---|---|
Pejabat Negara, Pejabat Daerah | OH | 250.000,00 |
Pejabat Eselon II | OH | 150.000,00 |
Namun kenyataannya, sepanjang 2024, anggota DPRD Payakumbuh justru menerima uang representatif setara dengan pimpinan DPRD. Hal ini terjadi karena kesalahan tafsir terhadap Peraturan Wali Kota Payakumbuh ,
Secara aturan, Peraturan Wali Kota (Perwako) Payakumbuh Nomor 4 Tahun 2024 telah menetapkan klasifikasi uang representasi berdasarkan jabatan. Anggota DPRD dikategorikan sejajar dengan Pejabat Eselon II, yang seharusnya hanya menerima uang representasi sebesar Rp150.000,00 per hari. Namun, sepanjang 2024, anggota DPRD justru menerima uang representasi setara pimpinan DPRD, yakni sebesar Rp250.000,00 per hari.
Kekeliruan ini muncul akibat adanya multi-interpretasi terhadap Perwako yang berlaku. Di satu sisi, penyusun aturan dari Badan Keuangan Daerah dan bagian hukum berpegang pada pengelompokan jelas dalam Perwako Nomor 4 Tahun 2024 yang merupakan perubahan atas Perwako Nomor 10 Tahun 2023 tentang Standar Harga Satuan, membedakan antara pimpinan dan anggota DPRD. Di sisi lain, Sekretariat DPRD sebagai pengguna aturan justru mengacu pada status hukum anggota DPRD sebagai pejabat daerah yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014, sehingga menganggap mereka berhak atas jumlah tertinggi uang representasi.
Akibat perbedaan tafsir ini, uang representasi anggota DPRD dibayarkan tidak sesuai ketentuan yang berlaku, sehingga menimbulkan pemborosan keuangan daerah dalam jumlah signifikan. Dana yang seharusnya bisa dialihkan untuk pelayanan publik, pembangunan infrastruktur, atau peningkatan kesejahteraan warga, justru terserap untuk membiayai pengeluaran yang semestinya bisa dihindari.
Kekeliruan ini tak hanya mencerminkan lemahnya perencanaan dan pengawasan, tetapi juga menandakan adanya celah dalam regulasi yang memungkinkan tafsir ganda. Di satu sisi, penyusun aturan menyatakan besaran untuk anggota dan pimpinan berbeda, namun di sisi lain, pelaksana anggaran justru menyamakan keduanya.
Ironisnya, semua ini terjadi di tengah sorotan efisiensi dan transparansi anggaran publik. Ketika masyarakat dihadapkan pada keterbatasan layanan dasar, para wakil rakyat justru menerima lebih dari yang semestinya.
Situasi ini menegaskan kembali pentingnya ketegasan regulasi serta sinkronisasi antarorganisasi peran. (SUMBER LHP BPK RI 2024)