Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) saat sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (30/6/2025).
JAKARTA, ALINIANEWS.COM — Vonis terhadap mantan Menteri Perdagangan Tom Lembong atas kasus impor gula memunculkan perdebatan tajam di ruang publik. Banyak yang menilai, putusan majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta yang menjatuhkan hukuman 4,5 tahun penjara sarat kejanggalan dan berpotensi mengaburkan batas antara kesalahan administratif dan tindak pidana.
Sorotan utama datang dari mantan Menko Polhukam Mahfud MD. Ia menyebut vonis tersebut salah arah karena tidak ditemukan adanya niat jahat dalam kebijakan impor gula yang dilakukan Tom.
“Setelah saya mengikuti isi persidangan dan mendengar vonisnya, maka menurut saya vonis itu salah,” tegas Mahfud, Selasa (22/7/2025).
Mahfud menekankan pentingnya prinsip geen straf zonder schuld — tidak ada pemidanaan tanpa kesalahan dan mengatakan bahwa dalam perkara ini, unsur utama kesalahan, yakni mens rea (niat jahat), justru absen.
“Menurut saya, tidak ada unsur mens rea sehingga tidak bisa dipidanakan. Dalilnya geen straf zonder schuld, artinya ‘tidak ada pemidanaan jika tidak ada kesalahan’. Unsur utama kesalahan itu adalah mens rea,” jelasnya.
Tidak hanya itu, Mahfud mengungkap bahwa tindakan yang dilakukan Tom Lembong merupakan pelaksanaan perintah dari Presiden Joko Widodo demi menstabilkan harga kebutuhan pokok.
“Di kasus Tom Lembong tidak ditemukan mens rea, karena dia hanya melaksanakan tugas dari atas yang bersifat administratif,” ujarnya.
Pernyataan Mahfud diperkuat oleh pengacara Tom, Zaid Mushafi, yang menyebut penerbitan izin impor gula kristal mentah (GKM) oleh kliennya bertujuan menjaga stok nasional dan pengendalian harga, sesuai permintaan presiden. Bahkan, langkah penunjukan koperasi TNI-Polri juga disebut telah mendapat izin Presiden.
Kesaksian itu diamini oleh Mayjen (Purn) Felix Hutabarat, Ketua Inkopkar 2015–2016, yang dalam persidangan 20 Mei 2025 lalu menyebut mendapat perintah dari KSAD Jenderal (Purn) Mulyono, yang sebelumnya menerima instruksi langsung dari Presiden Jokowi.
Namun demikian, majelis hakim menilai bahwa kebijakan Tom menyebabkan kerugian negara hingga Rp194,7 miliar akibat selisih harga pembelian gula oleh PT PPI dari perusahaan swasta yang memperoleh izin impor.
“Didasari atas perbuatan secara melawan hukum telah pula mengakibatkan kerugian keuangan negara in casu kerugian keuangan PT PPI Persero karena uang sejumlah Rp194.718.181.818,19 seharusnya adalah bagian keuntungan yang seharusnya diterima oleh PT PPI Persero,” kata hakim anggota Alfis Setiawan, Jumat (18/7/2025).
Tak hanya itu, hakim menambahkan bahwa kebijakan Tom lebih mengedepankan pendekatan ekonomi kapitalis ketimbang prinsip ekonomi Pancasila.
“Terdakwa pada saat menjadi Menteri Perdagangan kebijakan menjaga ketersediaan gula nasional dan stabilitas harga gula nasional lebih mengedepankan ekonomi kapitalis, dibandingkan sistem demokrasi ekonomi dan sistem Pancasila berdasarkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial,” ucap hakim saat membacakan hal-hal yang memberatkan.
Komentar hakim tersebut memunculkan kritik tajam dari Mahfud. Ia menilai, hakim gagal memahami perbedaan mendasar antara gagasan (ide) dan norma hukum.
“Hakim juga bercanda lucu bahwa salah satu yang memberatkan Tom Lembong adalah membuat kebijakan yang kapitalistik. Tampaknya hakim tak paham bedanya ide dan norma,” sindir Mahfud.
Selain aspek mens rea dan argumen ideologi, Mahfud turut menyoroti metode penghitungan kerugian negara yang dinilai janggal. Ia mempertanyakan keputusan hakim yang justru menolak perhitungan resmi dari BPKP.
“Kelemahan lain, perhitungan kerugian negara yang resmi dibuat oleh BPKP dinilai tidak benar sehingga majelis hakim membuat hitungan dengan matematikanya sendiri,” tambahnya.
Sementara itu, tim kuasa hukum Tom Lembong menyatakan akan mengajukan banding. Zaid Mushafi menilai, pertimbangan majelis hakim menurut nalar hukum tidak sesuai dengan fakta persidangan.
“Insya Allah hari ini kami akan resmi memasukkan dokumen pernyataan banding atas kasus, atas putusan Pak Tom Lembong,” kata Zaid saat ditemui di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Selasa (22/7/2025).
Zaid mengatakan, permohonan banding akan diajukan ke judex facti atau majelis hakim yang memeriksa fakta persidangan. Dalam upaya hukum ini, seluruh argumen hakim yang dianggap janggal akan dibantah melalui dokumen resmi.
“Apa saja yang menjadi pertimbangan oleh majelis hakim akan kita bantah dalam memori banding ini,” ujar Zaid.
Untuk keperluan pendaftaran, Zaid dan tim membawa surat kuasa baru yang telah ditandatangani oleh Tom Lembong, beserta dokumen administratif pendukung lainnya. Dalam waktu dekat, memori banding akan segera disusun.
“Jadi setelah itu memori banding itu akan kita isi, akan kita tuangkan seluruh kejanggalan-kejanggalan atau pertimbangan-pertimbangan majelis hakim yang tidak sesuai dengan fakta persidangan,” tutur Zaid.
Sebelumnya, kuasa hukum lainnya, Ari Yusuf Amir, juga menegaskan bahwa kliennya tidak menerima keuntungan pribadi dari kebijakan tersebut.
“Pak Tom tidak memiliki mens rea, dan itu diakui jaksa dan hakim. Ia juga tidak menerima keuntungan apa pun, baik langsung maupun tidak langsung. Ini diakui hakim,” katanya.
Ari mengingatkan, jika kesalahan kebijakan selalu diseret ke ranah pidana, maka akan muncul ketakutan dalam mengambil keputusan di kalangan pejabat publik.
”Mereka akan berpikir dua kali dalam membuat keputusan. Kalau hari ini ambil kebijakan, lima atau sepuluh tahun kemudian bisa masuk penjara. Tidak akan ada yang berani berinovasi,” ujarnya.
Ari menegaskan, keuntungan pihak ketiga dalam kebijakan publik bukan otomatis berarti korupsi. Tanpa ada kesepakatan tersembunyi atau niat jahat, tidak ada unsur pidana.
”Selama tidak ada niat jahat, selama tidak ada akal-akalan atau pembagian keuntungan dengan pembuat kebijakan, tidak ada tindak pidana,” katanya.
Menurutnya, kebijakan impor gula justru membuahkan hasil positif setelah Tom Lembong tak lagi menjabat.
”Sudah dibuktikan ahli bahwa harga gula turun akibat kebijakan Pak Tom. Jadi, evaluasi atas kebijakan itu baru bisa dilakukan beberapa bulan setelah pelaksanaan, bukan saat itu juga,” tambah Ari.
Sementara itu, Kejaksaan Agung memilih bersikap hati-hati menanggapi putusan tersebut.
”Kita menghormati putusan pengadilan,” kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Anang Supriatna, Jumat (18/7/2025).
”Jaksa akan bersikap pikir-pikir dalam waktu tujuh hari terhadap putusan tersebut,” lanjutnya. (*/rel)