ALINIANEWS.COM — Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait belanja jasa konsultansi Pemerintah Provinsi Sumatera Barat, seperti laporan alinianews.com, bukan sekadar persoalan “kelebihan bayar” senilai Rp218,75 juta. Ini adalah cermin retaknya sistem tata kelola keuangan daerah yang seharusnya taat asas dan akuntabel.
Kasus ini mengungkap dua hal menarik dan mencemaskan sekaligus: pertama, pola “numpang nama” untuk mencairkan dana konsultansi, di mana 11 orang konsultan yang tercantum dalam kontrak ternyata mengaku tak pernah bekerja dalam proyek tersebut. Kedua, penugasan ganda (overlap) tenaga ahli, alias tenaga “superman” yang bekerja di dua proyek sekaligus dalam waktu yang sama.
Modus seperti ini sering kali dikemas seolah sah secara administrasi, tapi substansinya adalah penggelapan uang negara. Ia bukan sekadar “kesalahan prosedural” melainkan bentuk awal dari korupsi yang terstruktur, sistemik, dan masif—walau skalanya masih “mikro”.
Ketika SPJ fiktif bisa lolos, bahkan terulang di banyak organisasi perangkat daerah (OPD) , maka persoalannya bukan lagi kelalaian individu. Ini soal lemahnya pengawasan internal di semua lini birokrasi. Juga ketidakpedulian atau bahkan keterlibatan oknum pejabat dalam merekayasa laporan. Dan minimnya efek jera dan penegakan sanksi administratif maupun hukum.
Pola ini mirip dengan skandal pengadaan fiktif di banyak daerah lain. Sumbar, sayangnya, tak belajar dari pengalaman buruk itu.
Fakta yang Harus Mengusik Nurani Publik
Bahwa baru Rp11,57 juta yang dikembalikan dari Rp218 juta yang terindikasi bermasalah, menunjukkan penanganan yang lambat. Ini bukan sekadar menagih uang, tapi mengusut siapa sebenarnya yang menyusun kontrak. Siapa yang meloloskan SPJ fiktif? Apakah ada pola sistemik yang melibatkan lebih dari satu OPD dengan jejaring “pembagi jatah”?
Tanpa jawaban tegas dan tindakan nyata, publik akan bertanya-tanya: apakah ini hanya puncak gunung es?
Gubernur sudah seharusnya bertindak, bukan sekadar setuju! Rekomendasi BPK sudah jelas. Tapi rakyat ingin aksi konkret, bukan hanya pernyataan normatif. Gubernur Sumbar Mahyeldi Ansharullah harus menunjukkan sikap politik anggaran yang tegas:
Bongkar jejaring pelaku di setiap SKPD yang terlibat; Audit menyeluruh praktik pengadaan konsultansi tahun-tahun sebelumnya; Libatkan aparat penegak hukum jika ada indikasi pelanggaran pidana. Karena ini bukan semata soal “uang hilang”, tapi soal kepercayaan publik yang bocor.
Saatnya membongkar budaya “Nama Dipinjam, Uang Dicairkan”. Kasus ini harus menjadi titik balik. Bukan sekadar ditambal dengan pengembalian kerugian, tapi dibongkar hingga ke akar: sistem dan mentalitas birokrasi yang permisif terhadap manipulasi.
Jika tidak, kita akan terus membaca laporan BPK setiap tahun dengan nada yang sama: “kelebihan bayar”, “pekerjaan fiktif”, “jadwal tumpang tindih”, “belum dikembalikan”.
Dan di tengah itu semua, rakyat tetap membayar harga—dalam bentuk layanan publik yang buruk, proyek mangkrak, dan pejabat yang sibuk berdalih. (YURNALDI)