spot_img
spot_img

Jangan Cuma Teriak Setelah Pasar Dibanjiri Ayam Beku

Alex Indra Lukman, Wakil Ketua Komisi IV DPR RI. 

Oleh: YURNALDI, Pemred Alinianews.com

Pernyataan Wakil Ketua Komisi IV DPR, Alex Indra Lukman, yang mengkritik kebijakan tarif 0 persen terhadap produk pertanian dan peternakan asal Amerika Serikat, sekilas terdengar nasionalistis dan membela rakyat kecil. Ia menyebut bahwa masuknya ayam, kedelai, jagung, hingga daging sapi dari AS bisa membunuh peternak lokal dan mengancam kedaulatan pangan Indonesia. Namun, sayangnya, pernyataan itu muncul terlambat dan tidak utuh.

Iklan

Penting dipahami, DPR bukanlah komentator yang hanya muncul setelah badai menerjang. DPR adalah bagian dari sistem yang seharusnya mengawasi, mengantisipasi, bahkan memberi arah terhadap negosiasi internasional seperti ini. Maka pertanyaannya: di mana suara Komisi IV saat perundingan perdagangan ini digodok?

Retorika kedaulatan pangan selalu laris menjelang musim politik atau saat krisis melanda. Tapi bicara ketahanan pangan tidak cukup dengan slogan dan empati. Dibutuhkan data konkret, proyeksi ekonomi, serta perbandingan kompetitif. Sayangnya, dalam pernyataan Alex, kita tidak melihat satu pun angka, satu pun kalkulasi, atau satu pun peta risiko riil.

Sebaliknya, kita disodori narasi emosional bahwa petani dan peternak akan binasa karena ayam beku dari luar dijual lebih murah dari harga pokok produksi. Itu betul. Tapi bukankah ini juga cermin bahwa selama ini peternak lokal kita dibiarkan bertahan sendiri tanpa proteksi dan inovasi nyata dari negara?

BACA JUGA  PPATK-BGN Perkuat Sinergi Awasi Dana Program Makan Bergizi Gratis (MBG)

Di sinilah DPR seharusnya dituntut bertanggung jawab. Alih-alih hanya menyalahkan pemerintah atau Amerika, DPR seharusnya juga menjelaskan apa yang sudah mereka lakukan untuk memperkuat fondasi pertanian dan peternakan nasional.

Apakah DPR sudah serius mendorong: insentif bagi koperasi peternak kecil? Investasi teknologi pakan murah dan efisien? Akses modal untuk petani mandiri? Pemangkasan rantai distribusi yang dikuasai kartel pangan?

Tidak hanya itu. Kritik DPR juga terkesan selektif. Apakah benar ancaman datang dari luar negeri? Atau justru dari dalam negeri sendiri—dari para konglomerat pangan yang menguasai jalur impor, distribusi, dan supermarket? Jika memang peternak kecil tercekik, siapa sebenarnya yang selama ini mengambil untung paling besar dari produk murah luar negeri?

Sikap reaktif DPR, apalagi tanpa peta solusi alternatif, hanyalah populisme belaka. Ia tidak cukup untuk menjamin keberlanjutan pangan nasional. Apalagi jika suara itu hanya muncul setelah keputusan dibuat, atau setelah tekanan publik memuncak.

DPR bukan tamu dalam urusan perdagangan internasional. DPR adalah aktor penting. Maka jangan cuma ribut setelah ayam beku membanjiri pasar. Bertindaklah sebelum peternak lokal kehilangan tanahnya, kehilangan harapannya.

Kedaulatan pangan bukan cuma soal tarif, tapi soal keadilan, keberanian, dan keberpihakan yang dibuktikan—bukan hanya diucapkan.

spot_img

Latest news

- Advertisement -spot_img

Berita Terkait

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses