ALINIANEWS.COM — KPK mencatat pemulihan keuangan negara Rp1,85 triliun dalam tiga tahun terakhir. Bila dibandingkan dengan total anggaran operasionalnya selama tiga tahun (Rp3,91 triliun), maka asset recovery hanya menyentuh 47-50 persen dari biaya kerja lembaga itu. Angka ini mungkin terdengar membanggakan dalam laporan keuangan, tetapi apakah ia cukup menjawab ekspektasi publik atas pemberantasan korupsi yang menyeluruh, transparan, dan berdampak jangka panjang?
Optimasi atau Eufemisme Anggaran?
Dengan realisasi anggaran nyaris sempurna (rata-rata 98 persen per tahun), efisiensi seharusnya menjadi perhatian. Apakah alokasi Rp1,3 triliun per tahun benar-benar menghasilkan efek gentar di kalangan koruptor atau hanya mempertebal birokrasi internal KPK? Apalagi jika asset recovery masih jauh dari nilai korupsi yang merugikan negara tiap tahun—yang menurut berbagai kajian bisa mencapai puluhan hingga ratusan triliun rupiah.
Di Mana Taring KPK yang Dulu?
Pernyataan “KPK berkomitmen” terus diulang dalam narasi resmi, tapi publik tahu bahwa pasca revisi UU KPK tahun 2019, kewenangan lembaga ini terkikis. Dewan Pengawas, mandat administratif yang berbelit, serta lemahnya posisi independensi menjadi kendala nyata. Kinerja penindakan juga menurun jika dibandingkan era sebelumnya. Maka, pertanyaan kritisnya: apakah KPK hari ini bekerja dalam kendala politik yang membuatnya hanya tampil bersih dalam laporan, tapi tumpul dalam penindakan?
Hibah dan PSP: Solusi atau Pelarian?
Banyak dari nilai asset recovery berasal dari hibah dan penetapan status penggunaan (PSP) atas barang rampasan. Ini menimbulkan pertanyaan: apakah barang-barang tersebut digunakan optimal, atau justru menumpuk di gudang-gudang negara sebagai simbol kerja KPK yang tak tuntas? Transparansi dan audit terhadap barang rampasan dan status penggunaannya perlu dipertajam.
Harus Lebih dari Sekadar Efek Jera
Mengandalkan penindakan dan penyitaan belum tentu mencegah korupsi. KPK harus kembali memperkuat pendidikan antikorupsi dan reformasi sistemik. Sayangnya, dua sektor ini kerap diabaikan atau dianggap sekadar pelengkap program.
KPK bisa terus mengumumkan angka-angka pemulihan dan presentase serapan anggaran. Namun, publik menuntut lebih dari sekadar laporan rapi. KPK harus merebut kembali kepercayaan rakyat sebagai lembaga yang tajam ke atas dan tak tersandera oleh kekuasaan. Jika tidak, maka pemberantasan korupsi akan terus jadi pameran kertas kerja, bukan gerakan moral dan hukum yang sesungguhnya. (Yurnaldi)