Sumber: Pinterest
JAKARTA, ALINIANEWS.COM — Isu pengangguran di Indonesia kembali mencuat, memunculkan kekhawatiran baru tentang arah kebijakan ketenagakerjaan nasional. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) per Februari 2025, jumlah pengangguran terbuka mencapai 7,28 juta jiwa, atau 4,76 persen dari total angkatan kerja. Mirisnya, lebih dari 1 juta di antaranya adalah lulusan perguruan tinggi.
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKB, Zainul Munasichin, menilai fenomena ini menunjukkan adanya persoalan serius di hulu sistem ketenagakerjaan Indonesia. Ia menyebut, tingginya angka pengangguran bukan karena tidak tersedianya lowongan kerja, melainkan karena kualitas sumber daya manusia (SDM) yang belum memenuhi standar industri.

“Jangan-jangan memang kita ini enggak siap SDM yang kompeten. Lowongan kerja banyak tetapi enggak keserap, karena standar SDM kita ini enggak kompeten untuk bisa mengisi lowongan itu,” ujar Zainul saat ditemui di kantor DPP PKB, Jakarta, Jumat (11/7/2025).
Selain itu, Zainul juga menyoroti iklim usaha nasional sebagai faktor fundamental dalam penciptaan lapangan kerja. Menurutnya, sektor hulu seperti investasi dan kepastian berusaha harus sehat agar mampu menciptakan lapangan kerja yang layak di hilir.
“Tapi kalau sektor hulunya ini enggak bagus, iklim usaha kita ini enggak bagus, maka tidak akan ada penciptaan lapangan kerja yang berkualitas yang bisa diserap oleh pasar kerja kita,” tambahnya.
Pernyataan ini ia sampaikan merespons data investasi kuartal I 2025 yang menunjukkan angka masuk sebesar Rp486 triliun, namun hanya menghasilkan 600 ribu serapan tenaga kerja. Artinya, secara kasar, butuh Rp700 juta investasi hanya untuk menciptakan satu lapangan kerja.
“Rp 486 triliun dana masuk ke Indonesia investasi, tapi serapan tenaga kerjanya kecil, hanya 600.000. Kalau dibikin indeksnya, 1 tenaga kerja itu yang direkrut butuh Rp700 juta investasi. Rp700 juta investasi hanya merekrut 1 tenaga kerja. Kan mahal sekali,” ujar Zainul.
Menurutnya, hal ini menunjukkan bahwa mayoritas investasi yang masuk ke Indonesia adalah padat modal, bukan padat karya. Ia mencontohkan, sektor tambang yang menyerap sangat sedikit tenaga kerja meski nilai investasinya besar. Sementara sektor pertanian, meski nilai investasinya lebih kecil, justru mampu menyerap tenaga kerja jauh lebih banyak.
“Sektor pertambangan, investasi Rp1 triliun hanya akan menyerap 5.000 tenaga kerja. Sedangkan di sektor pertanian, investasi Rp1 triliun bisa menyerap 150 ribu tenaga kerja,” jelasnya.
Tak hanya itu, Zainul juga menyoroti tingginya biaya birokrasi dan praktik pemalakan oleh ormas sebagai hambatan investasi untuk berkembang secara sehat.
“Yang kedua, mungkin padat karya mungkin, tapi karena proses birokrasi kita ini tidak mendukung untuk itu, maka banyak dana yang bocor. High cost. Uang investasi yang harus dipakai untuk kegiatan produksi habis ke mana-mana itu ngurus perizinannya mahal, termasuk kena ormas-ormas yang mengganggu itu,” tandasnya.
Disonansi Talenta dan Lapangan Kerja
Kondisi ini diperparah oleh disonansi antara jumlah tenaga kerja terdidik dengan kesempatan kerja yang tersedia. Dari 7,28 juta pengangguran, lebih dari 1 juta merupakan lulusan universitas, dan sekitar 1,6 juta lulusan SMK. Angka ini menunjukkan bahwa pendidikan tinggi belum menjadi jaminan terserapnya tenaga kerja.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, dalam pernyataannya menyebut bahwa pengangguran meningkat sebesar 83.000 orang dibandingkan tahun sebelumnya, memperkuat sinyal adanya krisis struktural di pasar kerja nasional.
“Jumlah pengangguran tersebut menunjukkan peningkatan signifikan, dan lulusan sekolah menengah serta perguruan tinggi menduduki peringkat teratas dalam jumlah pengangguran,” ujar Yassierli dalam keterangan tertulis.
Secara regional, Provinsi Jawa Barat mencatat pengangguran tertinggi dengan angka mencapai 1,81 juta jiwa.
Sementara itu, total angkatan kerja Indonesia kini mencapai 153,05 juta jiwa, dengan 145,77 juta di antaranya telah bekerja. Namun ironisnya, hanya 38,67 persen yang bekerja di sektor formal, sementara lebih dari separuh (56,57 persen) berada di sektor informal—banyak di antaranya dalam kategori setengah menganggur.
Tantangan dan Arah Kebijakan
Fenomena ini menunjukkan perlunya langkah strategis yang lebih tajam dan fokus dari pemerintah. Perlu reformasi serius dalam pendidikan vokasi, penyederhanaan birokrasi investasi, serta strategi penciptaan kerja yang menyasar sektor padat karya.
Jika tidak, Indonesia akan terus berada dalam jebakan paradoks: investasi tinggi, lulusan banyak, tapi pengangguran tetap menggunung. (*/rel)