Wamendikdasmen Fajar Riza Ul Haq. Foto: Metrotvnews.com/Kautsar Widya Prabowo.
JAKARTA, ALINIANEWS.COM – Wakil Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Fajar Riza UI Haq enggan berkomentar banyak mengenai dugaan kasus korupsi Program Digitalisasi Pendidikan periode 2019-2022 Kemendikbud Ristek era Nadiem Makarim dan yang sedang diusut oleh Kejaksaan Agung.
Fajar hanya mengatakan Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Kejaksaan Agung.

“Kami menghormati proses yang sedang dilakukan oleh Kejaksaan Agung,” ujar Wakil Menteri Dikdasmen Fajar Riza Ul Haq kepada wartawan, Rabu (28/5) dilansir dari Tempo.com.
Lebih lanjut, Fajar memastikan program pengadaan laptop senilai Rp9,9 triliun yang diduga bermasalah itu juga telah selesai pada era Menteri Nadiem Makarim.
“Itu (pengadaan laptop) sudah berhenti di era Menteri (Pendidikan) yang sebelumnya. Sekarang kami sudah fokus dengan bidang-bidang yang lain,” kata Fajar yang ditemui seusai acara di kawasan Pecenongan, Jakarta Pusat, Rabu, 28 Mei 2025.
Dalam penyidikan itu, Kejaksaan Agung menggeledah rumah dan apartemen milik staf khusus Nadiem Anwar Makarim saat menjabat Menteri Pendidikan Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 21 Mei lalu. Kedua staf khusus Nadiem itu bernama Jurist Tan dan Fiona Handayani.
Dari apartemen Fiona, penyidik menyita satu unit laptop dan tiga telepon seluler. Sedangkan dari rumah Jurist, penyidik menyita dua harddisk eksternal, satu flashdisk, satu laptop, dan 15 buku agenda.
Sebelumnya Kejaksaan Agung (Kejagung) mengaku tengah mengusut kasus dugaan korupsi Program Digitalisasi Pendidikan berupa pengadaan laptop Chromebook di Kemendikbudristek periode 2019-2022.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Harli Siregar menyebut dalam kasus ini penyidik menemukan indikasi adanya pemufakatan jahat melalui pengarahan khusus agar tim teknis membuat kajian pengadaan alat TIK berupa laptop dengan dalih teknologi pendidikan.
Melalui kajian itu, ia mengatakan dibuat skenario seolah-olah dibutuhkan penggunaan laptop dengan basis sistem Chrome yakni Chromebook. Padahal, kata dia, hasil uji coba yang dilakukan pada tahun 2019 telah menunjukkan bahwa penggunaan 1.000 unit Chromebook tidaklah efektif sebagai sarana pembelajaran karena keterbatasan infrastruktur internet di sejumlah daerah. Tim teknis pun merekomendasikan penggunaan laptop berbasis sistem operasi Windows. Namun, rekomendasi itu tidak dijalankan.
Oleh sebab itu, Harli menyebut penyidik menduga terdapat pemufakatan jahat agar pengadaan Chromebook tetap dilakukan meskipun hasil uji coba tidaklah efektif.
Lebih lanjut, ia mengatakan anggaran untuk pengadaan chromebook tersebut mencapai Rp9,9 triliun yang terdiri dari Rp3,58 triliun merupakan dana di Satuan Pendidikan dan Rp6,399 triliun melalui dana alokasi khusus atau DAK.
Kendati demikian, Harli menegaskan pihaknya masih terus menghitung nilai kerugian keuangan negara akibat kasus korupsi pengadaan laptop tersebut.