- Oleh: YURNALDI, Pemimpin Redaksi alinianews.com.
Pernyataan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menilai tak perlu dan tak butuh media massa, cukup baginya media sosial untuk berkomunikasi, sontak menuai pro dan kontra. Di tengah era digital yang serba cepat, pernyataan semacam itu memang terdengar selaras dengan zaman, namun bila ditelaah lebih dalam, pernyataan itu berpotensi menyesatkan dan menunjukkan kurangnya pemahaman atas fungsi media dalam kehidupan berdemokrasi.
Tak bisa dimungkiri, media sosial memang telah menjadi kanal komunikasi yang efektif, cepat, dan murah. Kepala daerah, pejabat publik, hingga warga biasa, bisa langsung menyampaikan pesan tanpa perantara. Namun, menganggap media sosial bisa sepenuhnya menggantikan media massa adalah kekeliruan besar.
Media Massa, Pilar Demokrasi
Media massa bukan sekadar saluran informasi. Ia adalah salah satu pilar demokrasi yang memainkan peran sebagai penyampai informasi terverifikasi, ruang kritik yang terukur, serta pengawas jalannya pemerintahan. Melalui proses peliputan, verifikasi, dan penyajian sesuai kaidah jurnalistik, media massa memastikan informasi yang diterima publik tidak sekadar opini, tapi dilandasi fakta.
Di sisi lain, media sosial adalah ruang bebas yang minim kontrol. Informasi di sana bisa bersifat sepihak, bahkan manipulatif. Hoaks, propaganda, dan kabar tidak berdasar begitu mudah menyebar di platform digital tanpa penyaring yang memadai.
Anti-Kritik Terselubung?
Pernyataan “tak perlu media massa” bisa dibaca sebagai sinyal ketidaksukaan terhadap kritik. Kita paham, di media sosial pribadi, seorang kepala daerah bisa mengontrol narasi. Ia bisa memilih apa yang ditampilkan, apa yang dihapus, siapa yang diblokir. Sementara di media massa, ada ruang publik yang lebih objektif dan tak sepenuhnya bisa dikendalikan oleh pihak yang diberitakan.
Jika pola pikir ini terus dibiarkan, lama-kelamaan kita akan terjebak dalam budaya komunikasi satu arah yang hanya menampilkan keberhasilan, tanpa ruang untuk koreksi maupun transparansi.
Masyarakat Masih Membutuhkan Media Massa
Faktanya, tak semua warga aktif di media sosial atau mengikuti akun pribadi seorang pejabat. Banyak masyarakat, terutama di daerah pedesaan, yang masih mengandalkan media massa seperti koran lokal, radio, hingga media daring yang profesional, untuk mendapatkan informasi yang lebih utuh.
Selain itu, media massa memiliki daya jangkau yang lebih luas, lintas usia, lintas preferensi, dan lebih kredibel di mata publik. Bahkan, ironisnya, pernyataan sang gubernur tentang media massa pun tetap diberitakan oleh media massa—bukti bahwa eksistensinya tetap tergantung pada kanal itu.
Bukan Pilih Salah Satu, Tapi Sinergi
Di era ini, pejabat publik harus cerdas memanfaatkan keduanya: media sosial untuk komunikasi cepat dan personal, media massa untuk penyampaian informasi yang lebih formal, terukur, dan akuntabel. Bukan saling meniadakan.
Jika pemimpin daerah mulai berpikir media massa tidak dibutuhkan, kita patut khawatir. Demokrasi sehat membutuhkan ruang publik yang dikawal oleh media independen, bukan ruang informasi yang dikendalikan sepihak oleh elite. *